- Get link
- X
- Other Apps
- Get link
- X
- Other Apps
Sumber Gambar: https://mediaindonesia.com
Ditulis: Fatkhuri
Pro dan kontra terkait kebijakan sistem Zonasi dalam Penerimaan
Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ajaran 2019/2020 menyeruak ke ruang publik saat itu. Baik yang pro maupun kontra saling bersahutan menyesaki jagad pemberitaan
di Televisi, media cetak, elektronik dan media sosial. Bagi yang pro kebijakan
tersebut, zonasi merupakan solusi brilian untuk menghapus sekolah favorit yang
selama ini disinyalir menjadi penyebab terjadinya disparitas antara sekolah
elit dan sekolah medioker. Sebaliknya, bagi yang kontra kebijakan ini, mereka
beranggapan sistem zonasi memupus harapan tunas-tunas muda berprestasi dengan high competencies karena tidak mendapatkan
pendidikan secara layak ketika duduk di bangku sekolah yang biasa-biasa saja. Kebijakan
zonasi mengacu pada Permendikbud Nomor 51 tahun 2018. Regulasi ini mengatur bahwa
dalam PPDB, sekolah harus menerima calon peserta didik melalui jalur zonasi
paling sedikit 90% dari daya tampung sekolah; jalur prestasi paling banyak 5%;
dan jalur perpindahan tugas orang tua/wali paling banyak 5%, dan regulasi ini
kemudian diubah melalui Surat Edaran Nomor 3 tahun 2019 tertanggal 21 Juni
tentang Penerimaan Peserta Didik Baru. Mendikbud saat itu mengubah jalur PPDB untuk
zonasi paling sedikit 80% dari daya tampung sekolah; jalur prestasi menjadi
15%; dan jalur perpindahan tetap 5%.
Zonasi, resep kebijakan menuju keadilan sosial
Sistem Zonasi sejatinya memiliki misi strategis untuk mendorong pemerataan akses terhadap pendidikan. Kebijakan ini bisa dikatakan sebagai terobosan jitu ditengah semakin menguatnya pelembagaan praktik kastanisasi dunia pendidikan di Indonesia. Misi tersebut senafas dengan prinsip penyelenggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur bahwa “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.” Merujuk ketentuan tersebut, pendidikan yang mengebiri hak dasar warga jelas sangat (clear cut) diskriminatif. Regulasi tersebut membuka tabir gelap kesadaran publik bahwa ghirah pendidikan pada prinsipnya adalah berusaha menempatkan peserta didik tanpa pembedaan status, sehingga pendidikan tidak seharusnya melahirkan segregasi sosial.
Mengacu pada poin tersebut, makna strategis kebijakan zonasi dengan
demikian dapat diuraikan sebagai berikut.
Pertama, mendorong terciptanya keadilan sosial. Sebagaimana
diuraikan di atas, kritik sebagian masyarakat terhadap sistem zonasi adalah,
mereka menganggap penerapan zonasi merugikan calon siswa dengan prestasi baik,
tetapi harus gagal karena sekolah lebih mengutamakan calon peserta didik dari
jarak tempat tinggal yang terdekat. Melalui kebijakan ini, Pemerintah membuka
ruang seluas-luasnya kepada masyarakat terdekat dari sekolah untuk mengenyam
pendidikan. Di sini, ruang bagi calon peserta didik dari kelas menengah bawah
terbuka lebar untuk mengenyam pendidikan di sekolah yang bisa saja selama ini
hanya menjadi mimpi bagi mereka. Mereka ini umumnya berasal dari latarbelakang
keluarga miskin, tetapi karena faktor kedekatan jarak tempat tinggal, memiliki
kesempatan sekolah di institusi yang sebelumnya terkenal dengan istilah
favorit.
Tanpa sistem zonasi peserta didik dari keluarga biasa saja
ini barangkali akan selamanya berada di sekolah yang bukan saja sangat jauh
dari rumah, tetapi harus mengorbankan banyak hal seperti: waktu tempuh, tenaga,
uang saku, efek psikologis (stres, motifasi belajar rendah, dll), dan
sejenisnya. Mereka adalah korban yang kalah dalam kompetisi untuk memperebutkan
jatah kursi yang “limited” di sekolah unggulan, sehingga harus terbuang jauh
dari tempat tinggal. Kursi yang terbatas tersebut beberapa di antaranya konon
tidak diperoleh dengan cara yang fair. Terkait
isu terakhir ini, praktik jual beli kursi (gratifikasi) selama ini disinyalir
kerapkali terjadi dalam PPDB di sekolah favaorit sehingga dengan sistem zonasi,
harapan orang kaya atau anak pejabat daerah kemudian terbatas untuk tidak
menyebut sirna. Pada titik inilah kebijakan zonasi menemukan relevansinya
dengan keadilan sosial. Pendidikan yang mampu mengubah paradigma “kastanisasi”
yang telah memisahkan jarak antara kaum elit dan kaum papa, menuju paradigma
“equality” (kesetaraan). Sistem zonasi diharapkan mampu menjadi payung keadilan
bagi masyarakat sehingga cita-cita mencerdaskan bangsa bukan sekedar isapan
jempol belaka.
Kedua, zonasi merupakan cikal bakal lahirnya pluralisme di
lingkungan sekolah. Pluralisme mendorong relasi antar-individu dalam kelompok
yang diikat dengan kesediaan untuk menerima keberagaman (pluralitas). Pluralisme memungkinkan setiap individu atau
kelompok tetap memiliki otonomi masing-masing, tetapi juga memperoleh pengakuan
kelompok sehingga terwujud kerjasama (cooperation)
di tengah sebuah perbedaan (differences)
(Wollenberg, Anderson&López, 2005). Melalui sistem zonasi, peserta didik yang
berasal dari beragam latarbelakang (kaya-miskin dan cerdas-biasa) dituntut
untuk hidup secara toleran, menunjukkan rasa saling hormat dan menghargai satu
sama lain dalam kesatuan hidup bersama (ko-eksistensi). Interaksi di lingkungan
sekolah dalam bingkai keragaman seperti ini pada akhirnya dapat melahirkan
sikap penerimaan bagi peserta didik yang berbeda latarbelakang dan status
sosial. Anak berprestasi dan dari keluarga kaya harus mulai dibiasakan dengan
membuka diri dari pergaulan dengan mereka yang berbeda strata. Inilah salah
satu model pendidikan yang bersifat non-rivalrly,
non-excludability, dan non-discrimination, sebagaimana sering
disampaikan Mendikbud dalam beberapa kesempatan.
Ketiga, zonasi bisa mendorong adanya program pengimbasan bagi
peserta didik. Di samping adanya tuntutan untuk menerima mereka yang
berlatarbelakang miskin dan minim prestasi, anak-anak yang cerdas dan
berprestasi diharapkan dapat menularkan spirit, motifasi, dan strategi
pembelajarannya kepada anak yang prestasinya biasa-biasa saja. Peran guru di
sini sangat penting untuk menjembatani interaksi antar-siswa, sehingga tidak
menimbulkan kesenjangan di dalam lingkungan sekolah. Dengan demikian,
keberadaan sistem zonasi dapat melahirkan dampak positif, bukan kesenjangan
dalam pergaulan, melainkan bisa menjadi jangkar pengetahuan (driving force) bagi peserta didik
lainnya.
Guru dan tantangan mewujudkan Mutu Pendidikan
Banyak studi menunjukkan bahwa penentu mutu satuan pendidikan
ada di tangan guru. Guru bagi peserta didik ibarat “lilin” ilmu pengetahuan
yang bisa membelah ruang gelap peradaban. Dari Guru, peserta didik bukan hanya
memperoleh ilmu, melainkan pendidikan kepribadian (karakter) yang dibangun
melalui interaksi dalam proses pembelajaran baik di dalam kelas maupun
lingkungan sekolah. Dengan demikian, sebagai seorang professional, tugas guru semakin
kompleks, termasuk membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi
peserta didik. Tugas guru yang demikian itu sangat mulia. Namun, selama ini
masalah yang mengitari kehidupan seorang guru yang juga kompleks berdampak
terhadap tugas dan tanggungjawabnya yang tidak optimal. Beberapa masalah guru
yang harus mendapatkan porsi perhatian lebih pemerintah dan pemerintah daerah
diantaranya yaitu:
Pertama, kesejahteraan. Isu ini seringkali dibahas, tetapi
seringkali menguap. Program sertifikasi yang diterapkan pemerintah selama ini
baru menyelesaikan masalah pada guru-guru pegawai negeri dan guru tetap di
sekolah swasta (meskipun belum semua tersertifikasi). Sementara, bagi guru
honorer atau Tidak Tetap, nasib mereka sampai saat ini tidak jelas. Jumlah
mereka sangat banyak, 14% (honorer),7% (Guru Tidak Tetap Yayasan) di kabupaten/kota,
0,5% (Guru Tidak Tetap Yayasan) di provinsi, 12% (tanpa status yang jelas), dari
total sebanyak 53,724 orang Guru dan Tenaga Kependidikan (dapodik Kemendikbud,
2019). Mereka ini adalah sekelompok pejuang pendidikan yang telah
mendedikasikan dirinya dengan mencurahkan tenaga, waktu, dan pikirannya untuk
turut serta mencerdaskan anak bangsa, namun tidak berbanding lurus dengan
insentif yang mereka terima. Jangankan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,
untuk menopang kebutuhan transportasi sehari-hari saja belum tentu cukup.
Kedua, kualifikasi dan kompetensi. Salah satu masalah yang
sampai sekarang belum tuntas adalah kualifikasi dan kompetensi guru. Guru merupakan
pendidik profesional yang dalam mengemban tugasnya tidak cukup dengan bekal “panggilan
jiwa”, melainkan harus memenuhi persyaratan formal terkait legalitas keilmuan.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2017 diatur bahwa guru harus memiliki
kualifikasi akademik S-1, kecuali bagi mereka yang memiliki keahlian khusus
yang dibutuhkan oleh satuan pendidikan tertentu (misalnya guru produktif untuk
SMK). Dari aspek kompetensi, guru harus menguasai kompetensi pedagogik,
kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang
diperoleh melalui pendidikan profesi (UU Nomor 14 tahun 2005). Dan jenis
kompetensi yang dimaksud pada umumnya belum banyak dipenuhi oleh guru-guru di
Indonesia.
Melihat realitas tersebut, tugas pemerintah mengatasi masalah
guru harus komprehensif. Di samping kesejahteraan (khususnya bagi guru honorer
dan tidak tetap yayasan) yang harus segera mendapatkan perhatian, juga perlunya
program pengembangan keprofesian secara berkelanjutan bagi guru. Dengan
demikian, sistem zonasi yang bagi sebagian orang dianggap tidak akan berjalan
karena mutu pendidikan belum merata, secepatnya dapat diatasi dengan intervensi
kebijakan yang lebih kongkrit untuk mengangkat harkat dan martabat seorang guru, dan berkontribusi optimal bagi
peningkatan mutu pendidikan.
Baca juga:
Comments
Menarik.. 👍 Kunjungi blog aku juga kak
ReplyDeleteTerimakasih. Siap..
ReplyDelete