Oleh Fatkhuri
Pendidikan adalah mandat konstitusi yang wajib dipenuhi oleh
pemerintah. Saat ini pemerintah sedang bergiat memajukan pendidikan melalui
berbagai terobosan kebijakan. Pada jenjang pendidikan tinggi, Kemendikbudristek
telah meluncurkan kebijakan kampus merdeka yang bertujuan untuk membekali para
lulusan agar memiliki beragam keilmuan sebagai modal mereka ketika memasuki
dunia kerja. Sementara di jenjang pendidikan dasar dan menengah dalam kurun
waktu dua tahun terakhir kebijakan merdeka belajar juga telah diterapkan. Harus
diakui bahwa mutu pendidikan di Indonesia masih menyisakan berbagai masalah
serius. Hasil penilaian Programme for International Student Assessment
(PISA) tahun 2018 misalnya, menempatkan Indonesia berada pada urutan ke-74
(peringkat 6 terbawah). Dengan tantangan dunia yang semakin kompleks menuntut
pemerintah untuk berfikir out of the box bagaimana menyelesaikan
pelbagai masalah yang dihadapi selama ini.
Dalam konteks penjaminan mutu pendidikan, pemerintah telah
membangun sistem penjaminan mutu pendidikan baik internal oleh satuan
pendidikan maupun eksternal (lembaga penjaminan mutu). Pada penjaminan mutu
eksternal , akreditasi menjadi bagian dari penjaminan mutu yang eksistensinya diatur
dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pelaksanaan
akreditasi bertujuan untuk menjamin agar penyelenggaraan pendidikan sesuai
dengan standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah yang bermuara pada kepastian
akan mutu satuan pendidikan.
Sejak pemberlakuan Permendiknas Nomor 29 tahun 2005 dan
terakhir Permendikbud Nomor 13 tahun 2018, akreditasi sekolah/madrasah telah
berjalan selama hampir dua dekade. Dalam kurun waktu tersebut, Pemerintah telah
menggelontorkan anggaran Trilyunan
rupiah untuk mendukung pelaksanaan program akreditasi. Namun demikian, bukan saja
pemerataan akses yang sulit untuk diwujudkan, mutu pendidikan sebagai implikasi
dari pemanfaatan akreditasi juga belum terlihat. Dalam kurun waktu lebih dari
15 tahun terakhir, akreditasi baru dilaksanakan sebatas pada pencarian label
atau peringkat bagi sekolah/madrasah. Dalam konteks tersebut, akreditasi belum
menjadi budaya bagi semua stakeholders pendidikan untuk menunjang mutu satuan
pendidikan. Apa faktor yang menjadi penghambat pelaksanaan akreditasi? Saya
memiliki argumentasi bahwa akreditasi belum optimal sebagai instrumen
penjaminan mutu pendidikan karena ada hambatan struktural dan kultural.
Hambatan Struktural dan Kultural
Ada dua faktor penting yang memberi sumbangsih terhadap belum
optimalnya pelaksanaan akreditasi untuk mendorong penjaminan mutu pendidikan di
daerah.
Pertama hambatan pada struktural. Faktor ini merupakan
elemen yang terkait dengan bagaimana sistem pengambilan keputusan, formalisasi
aturan, dan pengarutan wewenang ditentukan (O’Neil dkk, 2001). Sejak
diberlakukan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah,
akreditasi tidak lagi menjadi kebijakan yang bisa dilaksanakan secara
bersama-sama dengan pemerintah daerah. Padahal jauh sebelum UU ini terbit,
pelaksanaan akreditasi tidak jarang dilakukan dengan cara kolaborasi baik dalam
konteks pendanaan maupun aspek yang lainnya. Peran pemerintah daerah di masa
lalu cukup signifikan dalam rangka mendukung akreditasi. Pengalaman empirik
membuktikan, alokasi anggaran yang bersumber dari APBD baik di tingkat provinsi
maupun daerah memberikan sumbangsih nyata dalam akselerasi perluasan akreditasi
sekolah/madrasah. Hampir setiap tahun pemerintah daerah mengalokasikan APBD rata-rata
20% dari total sasaran akreditasi yang ditetapkan pemerintah. Sayangnya,
kontribusi tersebut seketika terhenti ketika UU Nomor 23 2014 kemudian
diberlakukan sejak 2017. Faktor struktural ini memberikan andil cukup besar
terhadap minimnya perhatian pemerintah daerah untuk ikut berpartisipasi dalam
pelaksanaan akreditasi.
Kedua faktor kultural. Faktor ini lebih menitikberatkan pada mindset
dan perilaku. Mindset dan perilaku yang mencerminkan pemahaman
akreditasi sebagai alat penjaminan mutu belum terbentuk dalam pikiran warga
sekolah/madrasah dan masyarakat. Selama ini, akreditasi difahami baru sebatas
rutinitas program lima tahunan bagi satuan pendidikan. Akreditasi belum
terinternalisasi dengan baik sebagai alat untuk melakukan penjaminan mutu
pendidikan bagi satuan pendidikan. Pada akhirnya publik umumnya menempatkan
akreditasi sebatas program untuk mencari peringkat. Padahal akreditasi
semestinya memiliki fungsi jauh dari sekadar peringkat, tetapi juga sebagai
sarana mewujudkan mutu satuan pendidikan baik ditinjau dari mutu lulusan,
proses pembelajaran, mutu guru maupun manajemen sekolah/madrasah. Sejalan
dengan hal ini, membangun pemahaman publik terkait esensi akreditasi sebagai
upaya penjaminan mutu harus menjadi perhatian bagi seluruh pemangku
kepentingan. Berikutnya faktor kultural ini juga dapat dilihat sebagai dampak
dari minimnya eksposur akreditasi ke ruang publik di daerah. Sebagian
masyarakat kita belum memahami secara utuh mengenai substansi akreditasi sebagai
akibat dari minimnya sosialisasi dan publikasi yang terkait dengan akreditasi
bagi pengembangan mutu satuan pendidikan di daerah. Tidak heran jika masyarakat
pada akhirnya memiliki persepsi bahwa akreditasi tidak lebih dari ajang untuk mencari
peringkat atau label, bukan menjadi tools untuk membangun budaya mutu
yang bermanfaat untuk peningkatan kualitas satuan pendidikan di daerah. Akreditasi
bahkan kalah populer dibanding Ujian Nasional (UN) atau Rapor Pendidikan untuk
konteks saat ini.
Harmonisasi Kebijakan dan Peningkatan Eksposur Akreditasi
Solusi atas pelbagai masalah sebagaimana diuraikan di atas
adalah dengan mengupayakan dua poin penting sebagai berikut.
Pertama, hambatan struktural harus dibenahi dengan
penyempurnaan regulasi melalui harmonisasi peraturan yang saling tumpang tindih
dan bertentangan satu sama lain. Pemerintah perlu duduk bersama dalam rangka
mengkaji dan mendalami berbagai regulasi yang memiliki dampak negatif terhadap
pelayanan akreditasi di daerah. Terbitnya UU Nomor 23 tahun 2014 yang mengatur urusan
akreditasi menjadi kewenangan pemerintah pusat, dalam banyak hal justru
menimbulkan diskrepansi dan kebingungan bagi pemerintah daerah. Hal ini terjadi
karena Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan yang mengatur kewenangan pemerintah provinsi untuk
mengoordinasikan dan memfasiltiasi akreditasi di daerah tidak pernah dicabut. Keberadaan
UU tahun 23 2014 yang mengatur urusan akreditasi dan PP yang memayungi
penyelenggaraan pendidikan di daerah ini jelas saling bertentangan sehingga hal
ini menjadi hambatan bagi pemerintah daerah untuk berpartisipasi dalam
penyelenggaraan akreditasi. Dalam pasal 23 ayat (3) PP tersebut diatur bahwa
pemerintah provinsi berwenang untuk memfasilitasi akreditasi program pendidikan
di daerah cukup membingungkan. Begitupun dalam pasal 34 ayat (3) diatur
mengenai pemerintah kabupaten/kota untuk
memfasilitasi akreditasi program pendidikan dan akreditasi satuan pendidikan. Melihat situasi ini, harmonisasi
peraturan menjadi krusial untuk dilakukan guna meningkatkan efektifitas dan
efisiensi pelayanan akreditasi di daerah.
Kedua, solusi terhadap masalah kultural di mana mindset
tentang akreditasi sebagai bentuk penjaminan mutu yang belum terbentuk harus
dilakukan melalui peningkatan eksposur akreditasi kepada publik secara masif.
Hal ini bisa dilakukan dengan cara meningkatkan sosialisasi kepada publik
tentang arti penting akreditasi. Berikutnya BAN-S/M bersama pemerintah harus
mendorong publikasi secara intensif dalam rangka memberikan pemahamanan
mengenai akreditasi sebagai penjaminan mutu pendidikan. Selanjutnya, BAN-S/M melalui
kepanjangan tangan BAN-S/M Provinsi di daerah perlu menggalakan sinergi dan
kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan. Selain fokus pada pelaksanaan
kebijakan kemitraan di daerah, BAN-S/M provinsi perlu menyelenggarakan berbagai
kegiatan dengan melibatkan partisipasi publik untuk membumikan akreditasi di
ranah publik seperti diskusi publik, gelar wicara, FGD, iklan layanan
masyarakat, dan sebagainya. Sosialisasi, publikasi, diskusi dan desiminasi
informasi secara masif dan terstruktur akan memberikan dampak terhadap
pemahaman masyarakat dan warga sekolah/madrasah terhadap arti penting
akreditasi, yang bukan sekadar untuk mencari peringkat.
Pendek kata, implementasi sistem penjaminan mutu pendidikan di
Indonesia selama ini belum memperlihatkan efektifitasnya untuk mendongkrak
kinerja satuan pendidikan. Faktor struktural dan kulutral tampak menjadi
hambatan yang memberikan kontribusi terhadap mandegnya mutu sebagaimana yang
diharapkan. Harmonisasi kebijakan untuk mempercepat kinerja peningkatan mutu,
dan mendorong kolaborasi antar-lini pemerintahan dan pemangku kepentingan,
serta peningkatan eksposur akreditasi ke ruang publik dapat menjadi penawar
untuk mempercepat peningkatan mutu satuan pendidikan.
Comments
Post a Comment