- Get link
- X
- Other Apps
Ritual Seninan dan Kamisan, Tarekat Qadiriyah Wan Naqsabandiyah: Strategi Komunikasi Kyai Pesantren Darul Ulum Jombang meneguhkan Otoritas Keagamaan
- Get link
- X
- Other Apps
Oleh Fatkhuri
Pendahuluan
Jombang merupakan
salah satu daerah terletak di Jawa Timur yang dikenal secara luas memiliki
banyak pesantren. Sebagaimana diketahui publik, Pesantren adalah lembaga,
tempat di mana
kajian islam klasik dan ilmu pengetahuan keislaman secara umum ditransmisikan. Jamak
diketahui bahwa Pesantren memiliki dua kelompok komunitas; kelompok
pertama disebut
Kyai, dan kelompok
kedua disebut sebagai santri/murid. Kelompok pertama umumnya pemimpin
atau yang mempunyai pesantren itu sendiri. Mereka adalah figur yang memainkan
peran sentral di samping
sebagai guru, juga sebagai tempat di mana murid atau masyarakat secara luas
berkonsultasi tentang segala macam permasalahan. Pendek kata, Kyai memainkan
peranan penting untuk mengajarkan doktrin ke-Islaman, membimbing moralitas
santri/murid dan sebagainya. Adapun Kelompok kedua adalah santri. Santri adalah
murid yang
sedang belajar agama Islam
di pesantren. Meskipun tidak menutup kemungkinan, mereka yang belajar di luar pesantren bisa juga disebut
sebagai santri/murid.
Namun, dalam studi ini membatasi pengertian santri lebih kepada mereka yang
belajar agama Islam di Pesantren. Di pesantren, santri tidak hanya dituntut untuk belajar
agama Islam, tetapi juga harus menjaga hati dan pikiranya agar terhindar dari
perbuatan yang dilarang oleh agama. Lebih tepatnya, santri harus berbuat baik dan
tunduk pada apa yang diperintahkan oleh kyai sebagai pembimbing hidup mereka.
Di pesantren
Darul 'Ulum, terdapat praktik ritual keagamaan yang dilaksanakan secara
berkala/mingguan oleh Tarekat Qadiriyah Wan Naqsabandiyah. Kegiatan ini
dilaksanakan dalam berbagai ritual keagamaan. Istilah yang digunakan untuk
merujuk kepada kegiatan ini adalah seninan dan kemisan. Kegiatan ini telah dilakukan oleh Tarekat Qadiriyah Wan Naqsabandiyah sejak lama di pesantren ini.
Pengertian Tarekat
Kata tarekat berasal dari bahasa
arab, yang disebut dengan istilah tariqatun
yang berarti jalan. Menurut Madjid sebagaimana dikutip oleh Mahmudi, makna kata
tersebut sama dengan kata syari’atun,
sabilun, sirãtun dan manhajun
(1997:17). Merujuk pada makna “jalan” di atas, tarekat didefinisikan
sebagai jalan menuju kebaikan (syurga).
Tarekat diyakini sebagai jalan yang paling efektif untuk membebaskan
manusia dari belenggu keduniaan. Dalam konteks tersebut, seorang pengamal
tarekat wajib melaksanakan berbagai macam ritual-ritual sebagai cara mendekatkan
diri kepada Allah. Dalam praktiknya, tarekat mengajarkan para pengikutinya
untuk senantiasa manjalankan ritual “dzikir” untuk mengingat Allah. Dengan cara
tersebut, tarekat dapat mensucikan hati manusia dari berbagai macam hal-hal
yang mengotorinya seperti maksiat, dan dosa-dosa lainnya, serta mengisinya
dengan amalan-amalan kebaikan.
Tarekat biasanya
berhubungan dengan tasawuf.
Tasawuf merupakan jalan
hikmah yang di tempuh seorang Muslim yang menghendaki keselamatan dan lindungan
Allah. Dalam pelaksanaannya, secara ketat mengadopsi
prinsip-prinsip Islam yang dijalankan melalui seremonial yang tujuanya adalah
sebagai upaya mencapai kebaikan. Istilah tasawuf
berkembang sejak abad pertama hijriah yang dipelopori oleh Hasan Basri pada
tahun 110 H melalui ajarannya yang dikenal dengan istilah khauf, yaitu mempertebal takut kepada Allah dan qari’ yaitu mengadakan amalan dan
memperbanyak hidup kerohanian (Mamhudi, 1997: 20). Dengan pengertian tersebut,
tasawuf senantiasa mendorong manusia untuk senantiasa mendekatkan diri kepada
Allah dan memperbanyak amalan-amalan untuk memperkuat aspek rohani manusia.
Ritual seninan dan kamisan: Menempuh
jalan Allah
Tarekat dan
pesantren adalah dua elemen yang menjadi ciri khas tradisi Islam di Jawa.
Hubungan di
antara keduanya sangat kuat di Indonesia di mana pesantren menjadi
tempat pengembangan doktrin kesufian. Dalam konteks kesejarahan, doktrin
kesufian memberikan andil yang tidak bisa dianggap remeh, sebab kehadirannya
memberikan warna tersendiri bagi corak perkembangan Islam di Jawa. Sebagaimana
diuraikan oleh Mahmudi (1997) bahwa dalam proses penyebaran Islam di Indonesia,
tasawuf (sufi) memiliki peran penting dalam mengembangkan Islam sejak permulaan
abad ke 14 Masehi, 15 Masehi, dan berlanjut sampai abad ke 19 Masehi, dan
bahkan pada abad ke 13 Masehi, sejumlah Sufi berhasil mengislamkan sejumlah
penduduk di Jawa. Fakta ini menjadi bukti empiris bahwa keberadaan tarekat dalam perkembangan sejarah Islam
memiliki andil yang signifikan.
Dalam rangka menuju jalan Allah (kebaikan dan syurga), seorang pengamal tarekat wajib melaksanakan berbagai
macam ritual-ritual sebagai cara mendekatkan diri kepada Allah melalui
bimbingan sang guru. Di Pesantren Darul ‘Ulum Jombang, kegiatan-kegiatan
tersebut dilakukan melalui berbagai ritual yang diselenggarakan salah satunya
pada hari senin dan kamis, sehingga ritual Tarekat
Qadiriyah Wan Naqsabandiyah disebut
juga dengan seninan dan kamisan.
Ritual seninan dan kemisan sebagaimana disebutkan di atas, dilaksanakan pada
hari senin dan kamis. Secara literal, seninan berarti melakukan ritual pada
hari Senin dan kamisan berarti kegiatan yang dilakukan pada hari Kamis. Penting
dicatat bahwa alasan mengapa kegiatan ritual ini dijalankan pada senin dan kamis
tidak diketahui. Namun demikian, penting digarisbahawahi bahwa pemilihan
hari senin dan kamis sebagai hari untuk menjalankan aktifitas tarekat Tarekat Qadiriyah Wan Naqsabandiyah lebih menekankan kepada tradisi yang sejak
lama telah dibangun oleh para pendahulu di pesantren Darul Ulum Jombang. Hal
ini sebagaimana
diungkapkan oleh Kyai Khalil, putra Kyai Kholil Dahlan yang merupakan pemimpin
pertama tarekat Qadiriyya Wa
Naqsabandiyya di Darul 'Ulum, beliau mengatakan bahwa pelaksanaan ritual
pada hari Senin dan Kamis adalah untuk menjaga dan mengikuti tradisi para pendahulu
mereka yang menjalankan ritual tersebut pada hari senin dan kamis.
Darul Ulum bisa dibilang sebagai pusat kegiatan keagamaan yang dijalankan oleh
tarekat Tarekat Qadiriyah Wan
Naqsabandiyah. Sebagian
besar pengikut (jamaah) yang menghadiri kegiatan yang diselenggarakan di
pesantren ini
pada umumnya berasal dari berbagai kota di Jawa Timur, termasuk Mojokerto,
Surabaya, Jombang, Nganjuk, Kediri, dan lain-lain. Mereka secara rutin berkumpul
di Darul' Ulum pada hari Senin dan Kamis. Bagi mereka yang tercatat sebagai
anggota resmi jama’ah tersebut,
menghadiri pengajian pada hari tersebut bisa dikatakan wajib sebagai wujud
konsistensi (ke-istiqomahan) mereka untuk melakukan dzikir kepada Allah (mengingat Allah). Umumnya,
mereka yang hadir pada hari-hari tersebut adalah baik anggota biasa atau pun pemimpin (imam Khususiyah) di berbagai kota.
Bagi Tarekat Qadiriyya Wan Naqsabandiyya, dzikir (mengingat kepada Allah) harus dilakukan secara rutin dan
konsisten oleh para jama’ah/pengikutnya, baik secara per-orangan maupun secara
kolektif. Rutinitas ritual ini merupakan perwujudan dari prinsip dan
komitmen moral
yang harus dilakukan oleh para murid. Pengamal tarekat ini percaya bahwa jika mereka melakukan dzikir secara teratur, maka mereka akan
mendapatkan rasa aman dan damai baik di
dunia maupun di akhirat. Adapun alasan utama melakukan dzikir adalah dalam rangka untuk mencari ridha Allah –tidak ada
sesuatupun yang diharapkan, kecuali ridha Allah. Hal ini sangat beralasan mengingat makna
harfiah dzikir adalah untuk mengingat.
Literatur hadits juga memberi keterangan dengan banyak kekayaan materi dzikir. Sebagai contoh, Nabi
pernah menyebutkan bahwa dzikir adalah kegiatan terbaik dari ibadah, dimana
beliau pernah berkata dalam satu contoh bahwa Allah berkata: "Aku
bersamanya ketika dia mengingat-Ku ..." Dzikir dipercaya
sebagai instrumen yang efektif agar pengamal dapat dekat dengan Allah SWT. Hal
ini sebagaimana diuraikan oleh Kyai
Mansoor Shadiq (pemimpin tarekat Cabang Kediri), yang mengatakan
bahwa pengikut
tarekat harus secara terus menerus melakukan dzikir, sebab aktifitas ini
merupakan sebuah pendekatan agar manusia bisa lebih dekat kepada Allah.
Ada
perbedaan dari segi metode antara dzikir
yang dilakukan oleh pengikut tarekat
dan dzikir yang dilakukan oleh sebagaian besar masyarakat
umum (umat Islam). Dzikir di dalam tarekat dilakukan melalui prosedur, seperti
pada umumnya para anggota dianjurkan untuk membangun hubungan yang sangat erat
dengan para pemimpin mereka (Mursyid), dalam
tarekat dikenal istilah menjalin hubungan (rabitah). Di samping itu,
masyarakat yang ingin melakukan dzikir
harus melakukan bae'at terlebih
dahulu. Terakhir, ketika mereka melakukan dzikir,
mereka harus menggunakan Ka'bah (Qiblat)
sebagai pusat perhatian dari dzikir
yang mereka lakukan. Oleh karena itu, di dalam tarekat, dzikir dilakukan
dalam suasana dan lingkungan yang bisa dikatakan sakral, dan hal ini berbeda
dengan umat Islam secara umum yang bisa melakukan dzikir di tempat biasa.
Ilustrasi: https://arrahim.id
Dzikir yang dilafalkan
oleh murid dalam tarekat harus melalui perantara guru atau Mursyid. Dalam implementasinya, seorang murid tidak hanya
melafalkan dzikir dalam ucapan saja, melainkan juga harus membayangkan wajah
guru. Seorang murid yang berdzikir harus memiliki konsentasi tinggi, sehingga
yang dihadapannya betul-betul hanya wajah seorang guru tanpa ada bayangan atau
fokus yang lain. Penghubungan guru ketika berdzikir sebagai upaya untuk
berkonsentrasi sehingga kalbu si murid seolah-olah berhadapan dengan hati Mursyid dan terasa seakan-akan hati guru
itu memancarkan ajaran dzikirnya (Mahmudi, 1997: 53). Oleh karena itulah,
ikatan batin guru dan murid begitu tinggi mengingat peran guru dalam tarekat
begitu kuat yang dipercaya sebagai pengubung (jalan) antara murid sebagai
hamba, dengan Allah sebagai Tuhannya.
Seninan dan Kamisan: media untuk meneguhkan otoritas keagamaan kyai
Seninan dan
kemisan adalah hari di mana ritual dalam tarekat Qadiriyah
Wan Naqsabandiyah di pondok pesantren Darul ‘Ulum dijalankan secara rutin oleh pengikut/anggota tarekat. Di samping sebagai sarana
untuk mendekatkan diri kepada Allah, ritual ini juga menjadi media yang efektif
bagi para kyai (Mursyid) untuk menjalankan dan atau
mempertahankan otoritas
keagamaan mereka terutama dalam kaitannya dengan urusan rohani manusia.
Dalam tarekat, Mursyid adalah tokoh sentral yang
menduduki posisi teratas dalam struktur jam’iyah tarekat ini. Bahkan, banyak fakta mengatakan bahwa mayoritas Sufi dilarang mengikuti jalan kesufian
tanpa endorsement dari Mursyid atau Syeikh. Dalam kaitan ini, tak seorangpun boleh dan bisa mengkritik Mursyid sebab mereka adalah figur yang
membimbing murid, dan sebagai jembatan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Dalam beberapa hal, masyarakat juga percaya bahwa Mursyid memiliki kelebihan membaca hati dan pikiran orang (kekuatan
gaib), di mana
mereka bisa
melihat serta menebak hati para anggotanya. Kelebihan-kelebihan
yang dimiliki Mursyid dan pada saat
yang bersamaan diyakini oleh murid, pada akhirnya membuat para murid patuh dan
hormat terhadap para mursyid.
Pentingnya peran Mursyid dalam
membimbing murid tidak hanya terlihat dalam masalah-masalah keagamaan semata.
Dalam konteks masalah-masalah yang tidak ada hubungannya dengan masalah agama
pun, posisi Mursyid begitu sentral. Hal
ini tampak terlihat ketika banyak di antara murid bersilaturrahmi ke rumah Mursyid untuk berkonsultasi tentang
masalah-masalah kehidupan duniawi dan lain-lain.
Bagi seorang murid, Silaturrahmi
atau yang biasa disebut dengan istilah Sowan
adalah sebuah tradisi yang memiliki banyak manfaat. Di samping sebagai media untuk memperat tali kasih dengan Mursyid sebagai panutan, silaturrahmi
antara guru dan murid sebagaimana disebutkan di atas sebagai ajang untuk
mencurahkan isi hati dan segala permasalahan yang dimiliki para murid. Fakta
tersebut mengindikasikan bahwa peran Mursyid
atau guru sebenarnya tidak hanya pada masalah-masalah yang berkaitan dengan
spiritual semata, melainkan juga berperan penting dalam rangka membimbing murid
agar mencapai kehidupan yang lebih baik di dunia. Fenomena ini juga
menggambarkan bahwa guru dipersepsi
sebagai figur yang memiliki kelebihan, pengaruh dan kharisma yang luar biasa
besar, dan figur mursyid sebagai guru
yang kharismatik inilah yang membedakan dengan tipe pemimpin pada
kelompok/organisasi lain pada umumnya. Menurut Jun dan Sosik (2006), suatu
kharakteristik dari pemimpin kharismatik dan transformatif yang membedakan dari
tipe pemimpin lain adalah kemampuannya dalam merespon/mengakomodasi
kepentingan/kebutuhan para pengikutnya (murid), dari masalah-masalah yang bersifat
ringan seperti problem psikologi dan kebutuhan akan rasa aman para pengikutnya,
sampai pada level kebutuhan yang besar seperti masalah harga diri dan aktualisasi
dalam kehidupan (hal. 15).
Dalam praktiknya, relasi yang harmonis antara guru dan murid dilakukan
melalui media silaturahmi sebagaimana disebut di atas dalam istilah Sowan. Di Pesantren Darul Ulum, silaturrahmi umumnya dilakukan terutama sebelum
kegiatan ritual istighasah dan acara lain dimulai.
Biasanya, sebagian besar anggota tarekat pertama-tama akan mengunjungi rumah Mursyid. Para murid sangat sabar menunggu kehadiran mursyid sebagai guru mereka. Kediaman mursyid tentu menjadi penuh sesak,
dijejali para murid yang menunggu
tersebut. Di
halaman depan (teras) rumah
dan ruang tamu biasanya sudah tersedia aneka makanan dan minuman untuk para murid dan
pengunjung.
Sambil menunggu Mursyid, sebagian
besar pengunjung berbicara satu sama lain sekedar untuk berbagi cerita dan
sebagainya. Adapun
tujuan para anggota yang berkunjung ke rumah Mursyid bisa berbeda-beda.
Beberapa orang datang ke Mursyid hanya untuk melakukan Silaturrahmi (sedekar mempererat
hubungan), dan sebagian yang lain biasanya membawa permasalahan yang ingin di
konsultasikan dengan Mursyid.
Rangkaian Kegiatan Ritual Seninan
dan Kemisan
Sebagaimana diuraikan di awal, aktivitas seninan dan kamisan
merupakan kegiatan rutin mingguan jama’ah
tarekat yang tergabung dalam Tarekat
Qadiriyah Wan Naqsabandiyah. Dalam praktiknya, kegiatan ritual dimulai pada pukul
8:00. Dalam pelaksanaanya, sambil menunggu anggota lain yang belum datang, biasanya
jama’ah akan melakukan sholat (Dhuha), wirid (doa) dan ritual-ritual
lainnya. Sesi berikutnya adalah ceramah agama yang diberikan oleh mubaligh yang ditunjuk oleh Mursyid. Adapun ceramah biasanya disampaikan
oleh beberapa kyai sepuh. Di
Pesantren ini banyak sekali memiliki kyai yang kharismatik dan dianggap sepuh
dan secara rutin memberikan ceramah dalam acara seninan dan kamisan. Misalnya, Kyai Kholil Dachlan, yang
rutin memberikan
ceramah yang berisi tentang anjuran untuk memperbaiki moral dan tingkah laku
para jamaah, serta semakin mendekatkan diri kepada Allah.
Sesi ceramah dimulai
pada pukul 10.30 pagi dan selesai pada pukul 12:00 siang. Untuk jamaah laki-laki,
pengajian dipusatkan di pendopo yang lokasinya berdekatan dengan masjid
pesantren, dan bagi perempuan; pengajian berlangsung di dalam masjid. Secara
garis besar, Pengajian diperuntukan bagi siapa saja yang menghadiri acara
tersebut. Namun demikian, kebanyakan para pengikut ritual dan pengajian ini
adalah para orang tua dengan usia di atas 50 tahun.
Sebagaimana
dikatakan diatas, isi dari ceramah erat kaitannya dengan urusan Tasawuf, di mana topik utama dari pengajian
adalah seperti bagaimana cara untuk memurnikan hati, bagaimana menjadi Muslim
yang baik, dan bagaimana membuat hubungan lebih dekat dengan Allah. Dalam hal
ini, para anggota didorong untuk menjadi orang-orang yang senantiasa bisa
menjaga kesalehan, kesederhanaan, dan mereka di harapkan untuk bisa bersikap toleran
dengan komunitas mereka. Dalam
menyampaikan ceramahnya, kitab yang digunakan bermacam-macam diantaranya adalah
Sarah al-Hikam, yang ditulis oleh
Ibnu 'Ibbâd an-Nafazi al-Randi.
Setelah
ceramah selesai, sesi berikutnya adalah memulai proses bai'at bagi mereka yang ingin menjadi anggota tarekat. Bai’at secara
harfiah artinya adalah sumpah setia yang dilakukan oleh calon pengikut tarekat Tarekat Qadiriyah Wan Naqsabandiyah, yang menyatakan diri hanya
percaya kepada Allah dengan segala perintah dan larangan-larangan-Nya. Dalam
kaitan ini, Amir Maliki (2006) mengatakan bahwa bai'at pada dasarnya dilakukan tidak
hanya untuk para pendatang baru, tetapi juga bagi mereka yang sudah menjadi
anggota, akan tetapi mereka berkinginan untuk membuat keanggotaan mereka lebih
sempurna. Menurutnya, ada dua alasan mengapa orang bisa melakukan bai'at lebih
dari sekali. Pertama, mereka melakukan bai’at lebih dari satu kali karena
mereka berpikir bahwa hati mereka belum mantap dan mereka ingin menyempurnakannya.
Kedua, mereka melakukan bai'at dua kali karena pada dasarnya Mursyid
menyarankan untuk melakukannya (Hal. 258). Fakta ini juga mengindikasikan bahwa
bai'at tidak dapat didelegasikan kepada orang lain. Tidak semua orang, bahkan
orang-orang yang telah menjadi anggota dalam kurun waktu yang lama bisa
menggantikan Mursyid, kecuali
orang-orang yang dipilih oleh Mursyid
untuk bertindak sebagai pengganti (badal) atau
yang biasa disebut sebagai khalifah
(wakil/asisten).
Gall (1992) mengatakan bahwa orang-orang dalam kelompok khalifah memainkan peran penting karena mereka dapat bertindak
sebagai pengganti Mursyid. Disisi
lain, mereka juga bertanggung jawab untuk menyebarkan tarekat, atau mereka juga
bertanggung jawab untuk menjalankan kegiatan sebagaimana dilakukan Mursyid
seperti Ceramah, menulis, pelatihan, dan membae’at pendatang baru (p.4).
Di Darul 'Ulum,
ada dua jenis khalifah yang ditunjuk oleh Mursyid. Pertama adalah khalifah kubro, juga disebut sebagai khalifah Mursyid, dan kedua adalah khalifah sugra. Khalifah Mursyid ditunjuk dengan wewenang untuk menggantikan
Mursyid untuk melakukan bai'at. Bagi pengikut tarekat, para Syeikh atau Mursyid umumnya dianggap sebagai bapak spiritual mereka. Menariknya,
afiliasi spiritual para pengikut tarekat bisa menjadi lebih kuat dan penting
daripada hubungan biologis dengan orangtua mereka. Para murid akan
tunduk dan patuh kepada para mursyid sebagai guru.
Proses Bai'at terdiri
dari beberapa tahapan yang harus di ikuti apabila seseorang ingin menjadi
murid/pengikut. Pertama, Murid duduk berlawanan dengan Mursyid yang berdiri di
depan semua calon pengikut. Dalam hal ini, murid harus menyerahkan semuanya kepada
Mursyid sebagai seorang guru yang siap untuk membimbing mereka. Kedua, setelah
bai'at dilakukan, para Mursyid yang kemudian diikuti oleh semua murid
membacakan do'a tertentu. Ketiga, Mursyid melatih para murid untuk melakukan dzikir (mengingat Allah). Langkah
berikutnya adalah Mursyid dengan dikuti oleh murid, mengucapkan shalawat munjiat dan dilanjutkan dengan membacakann
ayat bai'at. Terakhir, upacara ditutup dengan membacakan fathihah kepada Nabi,
Syeikh Abdul Qadir al-Jailani (pendiri tarikat Qaidiriya), Syeikh Abu Al-Qasim
Junaidi Al-Baghdadi. Kemudian, dilanjutkan dengan melakukan do'a (doa) yang
dibacakan oleh Mursyid. Tahap terakhir, ini ditutup dengan tawajjuh atau
melakukan dzikir Sirri (diam) yang dilakukan oleh Mursyid dalam rangka untuk memfokuskan
dzikir ke dalam hati para murid yang
berada di depan Mursyid. Bagi murid, tawajjuh berarti dzikir di mana mereka memfokuskan
perhatian hanya kepada Mursyid dengan meletakkan Mursyid di dalam hati mereka masing-masing
sebagai jembatan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Penting untuk
dicatat di sini bahwa Bai'at adalah bagian penting yang harus diikuti oleh
pengikut baru. Bae'at tidak hanya memungkinkan murid untuk dapat diterima
sebagai anggota tarekat sufi, tetapi juga dapat membuat hubungan mereka dengan
Mursyid menjadi lebih kuat.
Dzikir dalam
konteks tarekat Qadiriya Wan Naqsabandiyya memiliki dua kategori. Dalam
kaitan ini, para jamaah melakukan dua bentuk dzikir yang mewakili dua jenis
tarekat. Pertama, mereka melakukan dzikir
jahri, dimana penyampaianya adalah
dengan suara keras, dan kedua dzikir Sirri
(diam) atau qalbi (hati), yang
dibacakan secara diam-diam. Yang pertama mewakili jenis tarekat sufi Qadiriyah,
sedangkan yang terakhir mewakili tarekat Naqsabandiyah.
Menurut Van Bruinessen, perbedaan
kedua metode dzikir tersebut berasal
dari sejarah amalan tersebut. Amalan Qadiriyah
berasal dari Nabi Muhammad melalui Ali bin Abi Thalib yang terkenal
periang, terbuka dan suka menantang orang-orang kafir dengan mengucapkan
kalimat syahadat dengan suara lantang dan keras. Sedangkan amalan
Naqsabandiiyah berasal dari Abu Bakar yang menerima pelajaran sipiritual dari
Nabi Muhammad pada malam hijrah dari Mekkah ke Madinah, di mana karena di
tempat tersebut banyak musuh, maka tidak mungkin berbicara dengan keras dan
Rasullullah mengajarnya dengan berdizkir dalam hari (Mamhudi 1997:45-46). Kedua
metode dzikir tersebut sama-sama memiliki kekurangan dan kelebihan. Hal ini sebagaimana dikutip oleh
Zulfikli (2002), Abah Anom mengatakan bahwa dzikir Sirri atau khafi lebih
baik jika pelaksanaan dzikir jahar
mengganggu orang lain yang sedang melakukan doa atau tertidur. Sebaliknya, dzikir
jahri lebih baik karena dapat
meningkatkan antusiasme murid atau pengikut dengan demikian mengurangi rasa kantuk
dan kelesuan dan ini lebih baik bagi pemula.
Untuk melakukan
dzikir jahri, para anggota tarekat
duduk di lantai, menutup mata mereka, dan membaca shahādatayn (pengakuan iman) "La
ila ha Illaallah" dengan keras. Dalam menjalankan dzikir ini, mereka harus membaca kalimat tersebut sebanyak 165
kali. Tidak ada toleransi bagi mereka yang ingin melakukan bacaan tersebut pada
waktu yang lain. Jika mereka tidak menyelesaikannya dalam waktu yang
dialokasikan karena mereka memiliki tugas lain, mereka harus melengkapinya ketika
mereka sedang melakukan tugas baru tersebut. Berbeda dari dzikir jahri, dzikir Sirri dibacakan oleh anggota tarekat sebanyak 1.000-5.000 kali
dalam 24-jam. Semua anggota harus melengkapinya setelah menjalankan sholat lima
waktu. Bacaan yang digunakan adalah dengan menyebutkan nama Tuhan
"Allah". Berbeda dengan dihikir
jahri, dzikir sirri dalam
implementasinya lebih fleksibel dalam hal anggota (murid) punya sesuatu untuk
dilakukan dan mereka pada saat yang sama tidak dapat menyelesaikannya. Jika
demikian halnya, mereka harus menyelesaikannya di lain waktu. Sebagai contoh,
apabila salah satu anggota mencoba untuk melaksanakan dzikir akan tetapi dia sibuk dan mustahil untuk diselesaikan pada
saat itu, mereka harus bisa menyudahi
akan tetapi mereka berkewajiban untuk menyelesaikan sisa dzikir dimanapun
berada. Dengan catatan, mereka menyelesaikanya masih dalam hari yang sama.
Setelah
menyelesaikan bai'at, semua murid kemudian pergi ke masjid untuk melakukan
salat dhuhur. Jama'ah laki-laki mengambil posisi di depan, sementara perempuan
di belakang dengan dibatasi oleh hijab
(banner). Setelah selesai, mereka kemudian
melaksanakan istighasah, yang
dipimpin oleh khalifah yang telah ditunjuk oleh Mursyid. Istighasah kira-kira
berlangsung 30 menit. Setelah itu, ritual Khususiyah
dimulai dengan dipimpin oleh Mursyid. Ritual ini memakan waktu 3 jam sampai
shalat ashar tiba. Ritual diakhiri dengan sholat ashar. Secara umum, sebelum
pulang, biasanya aka ada pertemuan tertutup yang dilakukan antara para
khalifah, imam Khususiyah (anggota senior) dan Mursyid.
Penutup
Dari uraian diatas, ritual seninan dan
kemisan yang diselenggarakan oleh Tarekat Qadiriyah Wan Naqsabandiyah bisa dikatakan mempunyai fungsi ganda.
Disatu sisi, ritual tersebut sebagai sarana para pengikut tarekat qadiriyya wa Naqsabandiyya di pesantren
Darul Ulum untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah melalui
perantara Mursyid. Pada sisi yang lain, seninan dan kemisan disamping mempunyai peran penting dalam rangka mempererat
tali silaturrahmi
antara kyai dan santri, juga sebagai sarana untuk mempertahankan otoritas kyai
sebagai seorang yang patut menjadi suri tauladan dalam kehidupan para murid
sebagai pengamal tarekat.
Referensi
Dina Le Gall.
1992, ‘The othoman Naqshabadiyya in the Pre-Mudjadidi phase: A study in Islamic
religious culture and its transmission’, Unpublished PhD Dissertation,
presented to faculty of Princeton University at Department of near eastern
Studies.
Donil (Don) Jung and John J. Sosik 2006, Who Are the Spellbinders?
Identifying Personal Attributes of Charismatic Leaders, Journal of Leadership & Organizational Studies; 2006; 12, No. 4.
Maliki, Amir
2006, ‘Tarekat dan Perbuahan Sosial Jamaahnya’, Unpublished PhD dissertation,
Syarief Hidayatullah State Islamic University (UIN), Jakarta.
Zulkifli.2002,
Sufism in java: the role of the Pesantren in the maintenance of Sufim in java,
INIS, Leiden-Jakarta.
Yon Machmudi 1997, Kepemimpinan Mursyid dalam Tarekt Qadiriyah Wan
Naqsabandiyah di Rejoso, Jombang Jawa Timur, Universitas Indonesia, Jakarta.
Comments
Post a Comment