Ritual Seninan dan Kamisan, Tarekat Qadiriyah Wan Naqsabandiyah: Strategi Komunikasi Kyai Pesantren Darul Ulum Jombang meneguhkan Otoritas Keagamaan

Oleh Fatkhuri


Pendahuluan

Jombang merupakan salah satu daerah terletak di Jawa Timur yang dikenal secara luas memiliki banyak pesantren. Sebagaimana diketahui publik, Pesantren adalah lembaga, tempat di mana kajian islam klasik dan ilmu pengetahuan keislaman secara umum ditransmisikan. Jamak diketahui bahwa Pesantren memiliki dua kelompok komunitas; kelompok pertama disebut Kyai, dan kelompok kedua disebut sebagai santri/murid. Kelompok pertama umumnya pemimpin atau yang mempunyai pesantren itu sendiri. Mereka adalah figur yang memainkan peran sentral di samping sebagai guru, juga sebagai tempat di mana murid atau masyarakat secara luas berkonsultasi tentang segala macam permasalahan. Pendek kata, Kyai memainkan peranan penting untuk mengajarkan doktrin ke-Islaman, membimbing moralitas santri/murid dan sebagainya. Adapun Kelompok kedua adalah santri. Santri adalah murid yang sedang belajar agama Islam di pesantren. Meskipun tidak menutup kemungkinan, mereka yang belajar di luar pesantren bisa juga disebut sebagai santri/murid. Namun, dalam studi ini membatasi pengertian santri lebih kepada mereka yang belajar agama Islam di Pesantren. Di pesantren, santri tidak hanya dituntut untuk belajar agama Islam, tetapi juga harus menjaga hati dan pikiranya agar terhindar dari perbuatan yang dilarang oleh agama. Lebih tepatnya, santri harus berbuat baik dan tunduk pada apa yang diperintahkan oleh kyai sebagai pembimbing hidup mereka.

 

Di pesantren Darul 'Ulum, terdapat praktik ritual keagamaan yang dilaksanakan secara berkala/mingguan oleh Tarekat Qadiriyah Wan Naqsabandiyah. Kegiatan ini dilaksanakan dalam berbagai ritual keagamaan. Istilah yang digunakan untuk merujuk kepada kegiatan ini adalah seninan dan kemisan. Kegiatan ini telah dilakukan oleh Tarekat Qadiriyah Wan Naqsabandiyah sejak lama di pesantren ini.

 

Pengertian Tarekat

 

Kata tarekat berasal dari bahasa arab, yang disebut dengan istilah tariqatun yang berarti jalan. Menurut Madjid sebagaimana dikutip oleh Mahmudi, makna kata tersebut sama dengan kata syari’atun, sabilun, sirãtun dan manhajun (1997:17). Merujuk pada makna “jalan” di atas, tarekat didefinisikan sebagai jalan menuju kebaikan (syurga).

 

Tarekat diyakini sebagai jalan yang paling efektif untuk membebaskan manusia dari belenggu keduniaan. Dalam konteks tersebut, seorang pengamal tarekat wajib melaksanakan berbagai macam ritual-ritual sebagai cara mendekatkan diri kepada Allah. Dalam praktiknya, tarekat mengajarkan para pengikutinya untuk senantiasa manjalankan ritual “dzikir” untuk mengingat Allah. Dengan cara tersebut, tarekat dapat mensucikan hati manusia dari berbagai macam hal-hal yang mengotorinya seperti maksiat, dan dosa-dosa lainnya, serta mengisinya dengan amalan-amalan kebaikan.

 

Tarekat biasanya berhubungan dengan tasawuf. Tasawuf merupakan jalan hikmah yang di tempuh seorang Muslim yang menghendaki keselamatan dan lindungan Allah. Dalam pelaksanaannya, secara ketat mengadopsi prinsip-prinsip Islam yang dijalankan melalui seremonial yang tujuanya adalah sebagai upaya mencapai kebaikan. Istilah tasawuf berkembang sejak abad pertama hijriah yang dipelopori oleh Hasan Basri pada tahun 110 H melalui ajarannya yang dikenal dengan istilah khauf, yaitu mempertebal takut kepada Allah dan qari’ yaitu mengadakan amalan dan memperbanyak hidup kerohanian (Mamhudi, 1997: 20). Dengan pengertian tersebut, tasawuf senantiasa mendorong manusia untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dan memperbanyak amalan-amalan untuk memperkuat aspek rohani manusia.

 

Ritual seninan dan kamisan: Menempuh jalan Allah

 

Tarekat dan pesantren adalah dua elemen yang menjadi ciri khas tradisi Islam di Jawa. Hubungan di antara keduanya sangat kuat di Indonesia di mana pesantren menjadi tempat pengembangan doktrin kesufian. Dalam konteks kesejarahan, doktrin kesufian memberikan andil yang tidak bisa dianggap remeh, sebab kehadirannya memberikan warna tersendiri bagi corak perkembangan Islam di Jawa. Sebagaimana diuraikan oleh Mahmudi (1997) bahwa dalam proses penyebaran Islam di Indonesia, tasawuf (sufi) memiliki peran penting dalam mengembangkan Islam sejak permulaan abad ke 14 Masehi, 15 Masehi, dan berlanjut sampai abad ke 19 Masehi, dan bahkan pada abad ke 13 Masehi, sejumlah Sufi berhasil mengislamkan sejumlah penduduk di Jawa. Fakta ini menjadi bukti empiris bahwa keberadaan tarekat dalam perkembangan sejarah Islam memiliki andil yang signifikan.

 

Dalam rangka menuju jalan Allah (kebaikan dan syurga), seorang pengamal tarekat wajib melaksanakan berbagai macam ritual-ritual sebagai cara mendekatkan diri kepada Allah melalui bimbingan sang guru. Di Pesantren Darul ‘Ulum Jombang, kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan melalui berbagai ritual yang diselenggarakan salah satunya pada hari senin dan kamis, sehingga ritual Tarekat Qadiriyah Wan Naqsabandiyah  disebut juga dengan seninan dan kamisan.

 

Ritual seninan dan kemisan sebagaimana disebutkan di atas, dilaksanakan pada hari senin dan kamis. Secara literal, seninan berarti melakukan ritual pada hari Senin dan kamisan berarti kegiatan yang dilakukan pada hari Kamis. Penting dicatat bahwa alasan mengapa kegiatan ritual ini dijalankan pada senin dan kamis tidak diketahui. Namun demikian, penting digarisbahawahi bahwa pemilihan hari senin dan kamis sebagai hari untuk menjalankan aktifitas tarekat Tarekat Qadiriyah Wan Naqsabandiyah  lebih menekankan kepada tradisi yang sejak lama telah dibangun oleh para pendahulu di pesantren Darul Ulum Jombang. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Kyai Khalil, putra Kyai Kholil Dahlan yang merupakan pemimpin pertama tarekat Qadiriyya Wa Naqsabandiyya di Darul 'Ulum, beliau mengatakan bahwa pelaksanaan ritual pada hari Senin dan Kamis adalah untuk menjaga dan mengikuti tradisi para pendahulu mereka yang menjalankan ritual tersebut pada hari senin dan kamis.

 

Darul Ulum bisa dibilang sebagai pusat kegiatan keagamaan yang dijalankan oleh tarekat Tarekat Qadiriyah Wan Naqsabandiyah. Sebagian besar pengikut (jamaah) yang menghadiri kegiatan yang diselenggarakan di pesantren ini pada umumnya berasal dari berbagai kota di Jawa Timur, termasuk Mojokerto, Surabaya, Jombang, Nganjuk, Kediri, dan lain-lain. Mereka secara rutin berkumpul di Darul' Ulum pada hari Senin dan Kamis. Bagi mereka yang tercatat sebagai anggota resmi jama’ah tersebut, menghadiri pengajian pada hari tersebut bisa dikatakan wajib sebagai wujud konsistensi (ke-istiqomahan) mereka untuk melakukan dzikir kepada Allah (mengingat Allah). Umumnya, mereka yang hadir pada hari-hari tersebut adalah baik anggota biasa atau pun pemimpin (imam Khususiyah) di berbagai kota.

 

Bagi Tarekat Qadiriyya Wan Naqsabandiyya, dzikir (mengingat kepada Allah) harus dilakukan secara rutin dan konsisten oleh para jama’ah/pengikutnya, baik secara per-orangan maupun secara kolektif. Rutinitas ritual ini merupakan perwujudan dari prinsip dan komitmen moral yang harus dilakukan oleh para murid. Pengamal tarekat ini percaya bahwa jika mereka melakukan dzikir secara teratur, maka mereka akan mendapatkan rasa aman dan damai  baik di dunia maupun di akhirat. Adapun alasan utama melakukan dzikir adalah dalam rangka untuk mencari ridha Allah –tidak ada sesuatupun yang diharapkan, kecuali ridha Allah.  Hal ini sangat beralasan mengingat makna harfiah dzikir adalah untuk mengingat. Literatur hadits juga memberi keterangan dengan banyak kekayaan materi dzikir. Sebagai contoh, Nabi pernah menyebutkan bahwa dzikir adalah kegiatan terbaik dari ibadah, dimana beliau pernah berkata dalam satu contoh bahwa Allah berkata: "Aku bersamanya ketika dia mengingat-Ku ..." Dzikir dipercaya sebagai instrumen yang efektif agar pengamal dapat dekat dengan Allah SWT. Hal ini sebagaimana diuraikan oleh Kyai Mansoor Shadiq (pemimpin tarekat Cabang Kediri), yang mengatakan bahwa pengikut tarekat harus secara terus menerus melakukan dzikir, sebab aktifitas ini merupakan sebuah pendekatan agar manusia bisa lebih dekat kepada Allah.

 

Ada perbedaan dari segi metode antara dzikir yang dilakukan oleh pengikut tarekat dan dzikir  yang dilakukan oleh sebagaian besar masyarakat umum (umat Islam). Dzikir di dalam tarekat dilakukan melalui prosedur, seperti pada umumnya para anggota dianjurkan untuk membangun hubungan yang sangat erat dengan para pemimpin mereka (Mursyid), dalam tarekat dikenal istilah menjalin hubungan (rabitah). Di samping itu, masyarakat yang ingin melakukan dzikir harus melakukan bae'at terlebih dahulu. Terakhir, ketika mereka melakukan dzikir, mereka harus menggunakan Ka'bah (Qiblat) sebagai pusat perhatian dari dzikir yang mereka lakukan. Oleh karena itu, di dalam tarekat, dzikir dilakukan dalam suasana dan lingkungan yang bisa dikatakan sakral, dan hal ini berbeda dengan umat Islam secara umum yang bisa melakukan dzikir di tempat biasa.

 

Ilustrasi: https://arrahim.id

Dzikir yang dilafalkan oleh murid dalam tarekat harus melalui perantara guru atau Mursyid. Dalam implementasinya, seorang murid tidak hanya melafalkan dzikir dalam ucapan saja, melainkan juga harus membayangkan wajah guru. Seorang murid yang berdzikir harus memiliki konsentasi tinggi, sehingga yang dihadapannya betul-betul hanya wajah seorang guru tanpa ada bayangan atau fokus yang lain. Penghubungan guru ketika berdzikir sebagai upaya untuk berkonsentrasi sehingga kalbu si murid seolah-olah berhadapan dengan hati Mursyid dan terasa seakan-akan hati guru itu memancarkan ajaran dzikirnya (Mahmudi, 1997: 53). Oleh karena itulah, ikatan batin guru dan murid begitu tinggi mengingat peran guru dalam tarekat begitu kuat yang dipercaya sebagai pengubung (jalan) antara murid sebagai hamba, dengan Allah sebagai Tuhannya. 

 

Seninan dan Kamisan: media untuk meneguhkan otoritas keagamaan kyai

 

Seninan dan kemisan adalah hari di mana ritual dalam tarekat Qadiriyah Wan Naqsabandiyah di pondok pesantren Darul ‘Ulum dijalankan secara rutin oleh pengikut/anggota tarekat. Di samping sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, ritual ini juga menjadi media yang efektif bagi para kyai (Mursyid) untuk menjalankan dan atau mempertahankan otoritas keagamaan mereka terutama dalam kaitannya dengan urusan rohani manusia.

 

Dalam tarekat, Mursyid adalah tokoh sentral yang menduduki posisi teratas dalam struktur jamiyah tarekat ini. Bahkan, banyak fakta mengatakan bahwa mayoritas Sufi dilarang mengikuti jalan kesufian tanpa endorsement dari Mursyid atau Syeikh. Dalam kaitan ini, tak seorangpun boleh dan bisa mengkritik Mursyid sebab mereka adalah figur yang membimbing murid, dan sebagai jembatan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam beberapa hal, masyarakat juga percaya bahwa Mursyid memiliki kelebihan membaca hati dan pikiran orang (kekuatan gaib), di mana mereka bisa melihat serta menebak hati para anggotanya. Kelebihan-kelebihan yang dimiliki Mursyid dan pada saat yang bersamaan diyakini oleh murid, pada akhirnya membuat para murid patuh dan hormat terhadap para mursyid.

 

Pentingnya peran Mursyid dalam membimbing murid tidak hanya terlihat dalam masalah-masalah keagamaan semata. Dalam konteks masalah-masalah yang tidak ada hubungannya dengan masalah agama pun, posisi Mursyid begitu sentral.  Hal ini tampak terlihat ketika banyak di antara murid bersilaturrahmi ke rumah Mursyid untuk berkonsultasi tentang masalah-masalah kehidupan duniawi dan lain-lain.

 

Bagi seorang murid, Silaturrahmi atau yang biasa disebut dengan istilah Sowan adalah sebuah tradisi yang memiliki banyak manfaat. Di samping sebagai media untuk memperat tali kasih dengan Mursyid sebagai panutan, silaturrahmi antara guru dan murid sebagaimana disebutkan di atas sebagai ajang untuk mencurahkan isi hati dan segala permasalahan yang dimiliki para murid. Fakta tersebut mengindikasikan bahwa peran Mursyid atau guru sebenarnya tidak hanya pada masalah-masalah yang berkaitan dengan spiritual semata, melainkan juga berperan penting dalam rangka membimbing murid agar mencapai kehidupan yang lebih baik di dunia. Fenomena ini juga menggambarkan bahwa guru dipersepsi sebagai figur yang memiliki kelebihan, pengaruh dan kharisma yang luar biasa besar, dan figur mursyid sebagai guru yang kharismatik inilah yang membedakan dengan tipe pemimpin pada kelompok/organisasi lain pada umumnya. Menurut Jun dan Sosik (2006), suatu kharakteristik dari pemimpin kharismatik dan transformatif yang membedakan dari tipe pemimpin lain adalah kemampuannya dalam merespon/mengakomodasi kepentingan/kebutuhan para pengikutnya (murid), dari masalah-masalah yang bersifat ringan seperti problem psikologi dan kebutuhan akan rasa aman para pengikutnya, sampai pada level kebutuhan yang besar seperti masalah harga diri dan aktualisasi dalam kehidupan (hal. 15).

 

Dalam praktiknya, relasi yang harmonis antara guru dan murid dilakukan melalui media silaturahmi sebagaimana disebut di atas dalam istilah Sowan. Di Pesantren Darul Ulum, silaturrahmi umumnya dilakukan terutama sebelum kegiatan ritual istighasah dan acara lain dimulai. Biasanya, sebagian besar anggota tarekat pertama-tama akan mengunjungi rumah Mursyid. Para murid sangat sabar menunggu kehadiran mursyid sebagai guru mereka. Kediaman mursyid tentu menjadi penuh sesak, dijejali para murid yang menunggu tersebut. Di halaman depan (teras) rumah dan ruang tamu biasanya sudah tersedia aneka makanan dan minuman untuk para murid dan pengunjung. Sambil menunggu Mursyid, sebagian besar pengunjung berbicara satu sama lain sekedar untuk berbagi cerita dan sebagainya. Adapun tujuan para anggota yang berkunjung ke rumah Mursyid bisa berbeda-beda. Beberapa orang datang ke Mursyid hanya untuk melakukan Silaturrahmi (sedekar mempererat hubungan), dan sebagian yang lain biasanya membawa permasalahan yang ingin di konsultasikan dengan Mursyid.

 

Rangkaian Kegiatan Ritual Seninan dan Kemisan

 

Sebagaimana diuraikan di awal, aktivitas seninan dan kamisan merupakan kegiatan rutin mingguan jama’ah tarekat yang tergabung dalam Tarekat Qadiriyah Wan Naqsabandiyah. Dalam praktiknya, kegiatan ritual dimulai pada pukul 8:00. Dalam pelaksanaanya, sambil menunggu anggota lain yang belum datang, biasanya jama’ah akan melakukan sholat (Dhuha), wirid (doa) dan ritual-ritual lainnya. Sesi berikutnya adalah ceramah agama yang diberikan oleh mubaligh yang ditunjuk oleh Mursyid. Adapun ceramah biasanya disampaikan oleh beberapa kyai sepuh. Di Pesantren ini banyak sekali memiliki kyai yang kharismatik dan dianggap sepuh dan secara rutin memberikan ceramah dalam acara seninan dan kamisan. Misalnya, Kyai Kholil Dachlan, yang rutin memberikan ceramah yang berisi tentang anjuran untuk memperbaiki moral dan tingkah laku para jamaah, serta semakin mendekatkan diri kepada Allah.

 

Sesi ceramah dimulai pada pukul 10.30 pagi dan selesai pada pukul 12:00 siang. Untuk jamaah laki-laki, pengajian dipusatkan di pendopo yang lokasinya berdekatan dengan masjid pesantren, dan bagi perempuan; pengajian berlangsung di dalam masjid. Secara garis besar, Pengajian diperuntukan bagi siapa saja yang menghadiri acara tersebut. Namun demikian, kebanyakan para pengikut ritual dan pengajian ini adalah para orang tua dengan usia di atas 50 tahun.

 

Sebagaimana dikatakan diatas, isi dari ceramah erat kaitannya dengan urusan Tasawuf, di mana topik utama dari pengajian adalah seperti bagaimana cara untuk memurnikan hati, bagaimana menjadi Muslim yang baik, dan bagaimana membuat hubungan lebih dekat dengan Allah. Dalam hal ini, para anggota didorong untuk menjadi orang-orang yang senantiasa bisa menjaga kesalehan, kesederhanaan, dan mereka di harapkan untuk bisa bersikap toleran dengan komunitas mereka.  Dalam menyampaikan ceramahnya, kitab yang digunakan bermacam-macam diantaranya adalah Sarah al-Hikam, yang ditulis oleh Ibnu 'Ibbâd an-Nafazi al-Randi.

 

Setelah ceramah selesai, sesi berikutnya adalah memulai proses bai'at bagi mereka yang ingin menjadi anggota tarekat. Bai’at secara harfiah artinya adalah sumpah setia yang dilakukan oleh calon pengikut tarekat Tarekat Qadiriyah Wan Naqsabandiyah, yang menyatakan diri hanya percaya kepada Allah dengan segala perintah dan larangan-larangan-Nya. Dalam kaitan ini, Amir Maliki (2006) mengatakan bahwa bai'at pada dasarnya dilakukan tidak hanya untuk para pendatang baru, tetapi juga bagi mereka yang sudah menjadi anggota, akan tetapi mereka berkinginan untuk membuat keanggotaan mereka lebih sempurna. Menurutnya, ada dua alasan mengapa orang bisa melakukan bai'at lebih dari sekali. Pertama, mereka melakukan bai’at lebih dari satu kali karena mereka berpikir bahwa hati mereka belum mantap dan mereka ingin menyempurnakannya. Kedua, mereka melakukan bai'at dua kali karena pada dasarnya Mursyid menyarankan untuk melakukannya (Hal. 258). Fakta ini juga mengindikasikan bahwa bai'at tidak dapat didelegasikan kepada orang lain. Tidak semua orang, bahkan orang-orang yang telah menjadi anggota dalam kurun waktu yang lama bisa menggantikan Mursyid, kecuali orang-orang yang dipilih oleh Mursyid untuk bertindak sebagai pengganti (badal) atau yang biasa disebut sebagai khalifah (wakil/asisten). Gall (1992) mengatakan bahwa orang-orang dalam kelompok khalifah memainkan peran penting karena mereka dapat bertindak sebagai pengganti Mursyid. Disisi lain, mereka juga bertanggung jawab untuk menyebarkan tarekat, atau mereka juga bertanggung jawab untuk menjalankan kegiatan sebagaimana dilakukan Mursyid seperti Ceramah, menulis, pelatihan, dan membae’at pendatang baru (p.4).

 

Di Darul 'Ulum, ada dua jenis khalifah yang ditunjuk oleh Mursyid. Pertama adalah khalifah kubro, juga disebut sebagai khalifah Mursyid, dan kedua adalah khalifah sugra. Khalifah Mursyid ditunjuk dengan wewenang untuk menggantikan Mursyid untuk melakukan bai'at. Bagi pengikut tarekat, para Syeikh atau Mursyid umumnya dianggap sebagai bapak spiritual mereka. Menariknya, afiliasi spiritual para pengikut tarekat bisa menjadi lebih kuat dan penting daripada hubungan biologis dengan orangtua mereka. Para murid akan tunduk dan patuh kepada para mursyid sebagai guru.

 

Proses Bai'at terdiri dari beberapa tahapan yang harus di ikuti apabila seseorang ingin menjadi murid/pengikut. Pertama, Murid duduk berlawanan dengan Mursyid yang berdiri di depan semua calon pengikut. Dalam hal ini, murid harus menyerahkan semuanya kepada Mursyid sebagai seorang guru yang siap untuk membimbing mereka. Kedua, setelah bai'at dilakukan, para Mursyid yang kemudian diikuti oleh semua murid membacakan do'a tertentu. Ketiga, Mursyid melatih para murid untuk melakukan dzikir (mengingat Allah). Langkah berikutnya adalah Mursyid dengan dikuti oleh murid, mengucapkan shalawat munjiat dan dilanjutkan dengan membacakann ayat bai'at. Terakhir, upacara ditutup dengan membacakan fathihah kepada Nabi, Syeikh Abdul Qadir al-Jailani (pendiri tarikat Qaidiriya), Syeikh Abu Al-Qasim Junaidi Al-Baghdadi. Kemudian, dilanjutkan dengan melakukan do'a (doa) yang dibacakan oleh Mursyid. Tahap terakhir, ini ditutup dengan tawajjuh atau melakukan dzikir Sirri (diam) yang dilakukan oleh Mursyid dalam rangka untuk memfokuskan dzikir  ke dalam hati para murid yang berada di depan Mursyid. Bagi murid, tawajjuh berarti dzikir di mana mereka memfokuskan perhatian hanya kepada Mursyid dengan meletakkan Mursyid di dalam hati mereka masing-masing sebagai jembatan untuk mendekatkan diri kepada Allah.

 

Penting untuk dicatat di sini bahwa Bai'at adalah bagian penting yang harus diikuti oleh pengikut baru. Bae'at tidak hanya memungkinkan murid untuk dapat diterima sebagai anggota tarekat sufi, tetapi juga dapat membuat hubungan mereka dengan Mursyid menjadi lebih kuat.

 

Dzikir dalam konteks tarekat Qadiriya Wan Naqsabandiyya memiliki dua kategori. Dalam kaitan ini, para jamaah melakukan dua bentuk dzikir yang mewakili dua jenis tarekat.  Pertama, mereka melakukan dzikir jahri, dimana penyampaianya adalah dengan suara keras, dan kedua dzikir Sirri (diam) atau qalbi (hati), yang dibacakan secara diam-diam. Yang pertama mewakili jenis tarekat sufi Qadiriyah, sedangkan yang terakhir mewakili tarekat Naqsabandiyah. Menurut Van Bruinessen, perbedaan kedua metode dzikir tersebut berasal dari sejarah amalan tersebut. Amalan Qadiriyah berasal dari Nabi Muhammad melalui Ali bin Abi Thalib yang terkenal periang, terbuka dan suka menantang orang-orang kafir dengan mengucapkan kalimat syahadat dengan suara lantang dan keras. Sedangkan amalan Naqsabandiiyah berasal dari Abu Bakar yang menerima pelajaran sipiritual dari Nabi Muhammad pada malam hijrah dari Mekkah ke Madinah, di mana karena di tempat tersebut banyak musuh, maka tidak mungkin berbicara dengan keras dan Rasullullah mengajarnya dengan berdizkir dalam hari (Mamhudi 1997:45-46). Kedua metode dzikir tersebut sama-sama memiliki kekurangan dan kelebihan. Hal ini sebagaimana dikutip oleh Zulfikli (2002), Abah Anom mengatakan bahwa dzikir Sirri atau khafi lebih baik jika pelaksanaan dzikir jahar mengganggu orang lain yang sedang melakukan doa atau tertidur. Sebaliknya, dzikir jahri lebih baik karena dapat meningkatkan antusiasme murid atau pengikut dengan demikian mengurangi rasa kantuk dan kelesuan dan ini lebih baik bagi pemula.

 

Untuk melakukan dzikir jahri, para anggota tarekat duduk di lantai, menutup mata mereka, dan membaca shahādatayn (pengakuan iman) "La ila ha Illaallah" dengan keras. Dalam menjalankan dzikir ini, mereka harus membaca kalimat tersebut sebanyak 165 kali. Tidak ada toleransi bagi mereka yang ingin melakukan bacaan tersebut pada waktu yang lain. Jika mereka tidak menyelesaikannya dalam waktu yang dialokasikan karena mereka memiliki tugas lain, mereka harus melengkapinya ketika mereka sedang melakukan tugas baru tersebut. Berbeda dari dzikir jahri, dzikir Sirri dibacakan oleh anggota tarekat sebanyak 1.000-5.000 kali dalam 24-jam. Semua anggota harus melengkapinya setelah menjalankan sholat lima waktu. Bacaan yang digunakan adalah dengan menyebutkan nama Tuhan "Allah". Berbeda dengan dihikir  jahri, dzikir sirri dalam implementasinya lebih fleksibel dalam hal anggota (murid) punya sesuatu untuk dilakukan dan mereka pada saat yang sama tidak dapat menyelesaikannya. Jika demikian halnya, mereka harus menyelesaikannya di lain waktu. Sebagai contoh, apabila salah satu anggota mencoba untuk melaksanakan dzikir akan tetapi dia sibuk dan mustahil untuk diselesaikan pada saat itu,  mereka harus bisa menyudahi akan tetapi mereka berkewajiban untuk menyelesaikan sisa dzikir dimanapun berada. Dengan catatan, mereka menyelesaikanya masih dalam hari yang sama.

 

Setelah menyelesaikan bai'at, semua murid kemudian pergi ke masjid untuk melakukan salat dhuhur. Jama'ah laki-laki mengambil posisi di depan, sementara perempuan di belakang dengan dibatasi oleh hijab (banner). Setelah selesai, mereka kemudian melaksanakan istighasah, yang dipimpin oleh khalifah yang telah ditunjuk oleh Mursyid. Istighasah kira-kira berlangsung 30 menit. Setelah itu, ritual Khususiyah dimulai dengan dipimpin oleh Mursyid. Ritual ini memakan waktu 3 jam sampai shalat ashar tiba. Ritual diakhiri dengan sholat ashar. Secara umum, sebelum pulang, biasanya aka ada pertemuan tertutup yang dilakukan antara para khalifah, imam Khususiyah (anggota senior) dan Mursyid.

 

Penutup

Dari uraian diatas, ritual seninan dan kemisan yang diselenggarakan oleh Tarekat Qadiriyah Wan Naqsabandiyah bisa dikatakan mempunyai fungsi ganda. Disatu sisi, ritual tersebut sebagai sarana para pengikut tarekat qadiriyya wa Naqsabandiyya di pesantren Darul Ulum untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah melalui perantara Mursyid. Pada sisi yang lain, seninan dan kemisan disamping mempunyai peran penting dalam rangka mempererat tali silaturrahmi antara kyai dan santri, juga sebagai sarana untuk mempertahankan otoritas kyai sebagai seorang yang patut menjadi suri tauladan dalam kehidupan para murid sebagai pengamal tarekat.

 

 

 Baca juga: Kenapa Hari Libur Nasional Tahun Baru Islam diubah?

 

Referensi

 

Dina Le Gall. 1992, ‘The othoman Naqshabadiyya in the Pre-Mudjadidi phase: A study in Islamic religious culture and its transmission’, Unpublished PhD Dissertation, presented to faculty of Princeton University at Department of near eastern Studies.

Donil (Don) Jung and John J. Sosik 2006, Who Are the Spellbinders? Identifying Personal Attributes of Charismatic Leaders, Journal of Leadership & Organizational Studies; 2006; 12, No. 4.

Maliki, Amir 2006, ‘Tarekat dan Perbuahan Sosial Jamaahnya’, Unpublished PhD dissertation, Syarief Hidayatullah State Islamic University (UIN), Jakarta.

Zulkifli.2002, Sufism in java: the role of the Pesantren in the maintenance of Sufim in java, INIS, Leiden-Jakarta.

Yon Machmudi 1997, Kepemimpinan Mursyid dalam Tarekt Qadiriyah Wan Naqsabandiyah di Rejoso, Jombang Jawa Timur, Universitas Indonesia, Jakarta.

Comments