- Get link
- X
- Other Apps
- Get link
- X
- Other Apps
Ditulis: Fatkhuri
Berbicara masalah etika, maka tidak bisa dilepaskan dari tingkah
laku keseharian yang biasa kita kerjakan. Hal ini cukup beralasan mengingat
etika merupakan perangkat aturan yang berisi tentang nilai-nilia moral
(kebaikan) yang penting untuk difahami dan diaplikasikan dalam setiap aktivitas
sehari-hari. Etika senantiasa berhubungan dengan boleh dan tidaknya sesuatu
harus dikerjakan atau dijalankan. Dalam lingkungan masyarakat, kita acapkali
mendengar bahkan menyaksikan sendiri, bahwa seseorang akan dianggap tidak
memiliki etika manakala seseorang tersebut memerankan atau melakukan sesuatu
yang tidak lazim, atau dalam pengertian yang lebih detail adalah dianggap
bertentangan dengan asas kepantasan umum seperti melanggar norma dan
sejenisnya. Masyarakat akan menilai bahwa sesuatu yang dilakukan seseorang
adalah tidak baik atau tidak pantas dan sebutan sejenisnya tatkala masyarakat
menganggap bahwa apa yang dilakukan seseorang tersebut dinilai keluar dari
norma dan tradisi yang umum berlaku di masyarakat setempat. Oleh karena itu,
etika menjadi penting sebagai guideline yang harus difahami manusia
dalam kaitannya dengan aktivitias yang mereka lakukan.
Berangkat dari pengertian di atas, dan dalam kaitannya dengan bidang bisnis, ada dua pertanyaan yang diajukan dalam tulisan ini: pertama, seberapa penting atau urgen etika dalam bisnis? Kedua, bagaimana Islam memandang etika dalam dunia bisnis?
Sumber Gambar: https://muhammadiyah.or.id
Etika Bisnis: Tinjauan Teoritik
Etika merupakan perangkat nilai-nilai yang menentukan baik dan
buruknya sikap atau tindakan yang dilakukan seseorang. Dalam konteks ini,
Raharjo (1995) sebagaimana dikutip oleh Fauroni (2003) menyatakan bahwa etika
merupakan disiplin ilmu yang berisi patokan-patokan mengenai apa-apa yang benar
atau salah, yang baik atau buruk, sehingga dianggap tidak seiring dengan sistem
dan struktur bisnis. Secara sederhana etika bisnis dapat diartikan sebagai
suatu aturan main yang tidak mengikat karena bukan hukum, tapi harus diingat
dalam praktek bisnis sehari-hari, dan etika bisnis dapat menjadi batasan bagi
aktivitas bisnis yang dijalankan. Menurut Sternberg (1994), etika bisnis
sebagai suatu bidang filosofi yang berhubungan dengan pengaplikasian ethical
reasoning terhadap berbagai praktik dan aktivitas dalam berbisnis.
Merujuk pada uraian di atas, etika bsinis merupakan upaya untuk
mencari jalan keluar atau paling tidak mengklarifikasi berbagai moral issues
yang secara spesifik muncul atau berkaitan dengan aktivitas bisnis tersebut.
Dengan demikian prosesnya dimulai dari analisis terhadap the nature and presuppositions
of business hingga berimplikasi sebagai prinsip-prinsip moral secara umum
dalam upaya untuk mengidentifikasi apa yang “benar” di dalam berbisnis.
Pendekatan etika bisnis merupakan proses mengidentifikasi dan menjelaskan
berbagai aktivitas manusia dengan berpedoman pada tujuan (ends/aims/goals/objectives/purposes)
di dalam melakukan sesuatu aktivitas. Artinya di dalam penilaian etika bisnis
pemahaman terhadap “tujuan” dari suatu aktivitas akan sangat menentukan baik
atau tidaknya (goodness) aktivitas tersebut. Etika bisnis menurut
Hartman (1998) adalah bisnis yang tidak sekedar menyinggung nilai/masalah
kebajikan (virtue), melainkan juga perlunya mempertimbangkan karakter
secara menyeluruh. Dari perspektif moral, mempelajari karakter membuat seseorang
bisa menjadi manajer yang lebih baik, yang dapat mendorong kecendrungan paling
tidak dengan mempertimbangkan bahwa perusahaan yang baik tidak akan menempatkan
pekerjanya dalam kondisi ketidakberuntungan. Namun demikian, Hartman juga
menawarkan bahwa etika bisnis tidak sekedar membincang masalah virtue
semata, akan tetapi lebih menekankan kepada aspek karakter. Orang dengan
karakter yang kuat bertindak menurut komitmen dan nilai-nilai meskipun
menghadapi tekanan dan godaan. Karakter paling kuat adalah kondisi di mana
tidak ada konflik antara nilai-nilai dan dorongan sesaat. Semenatara menurut
Dalimunthe, Etika merupakan rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat yang
akan dapat membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang
terpuji (good conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan.
Mencermati secara mendalam terhadap makna etika bisnis, maka pendekatan ini
sangat krusial dalam perkembangan dunia ekonomi mengingat sudah banyak fakta
membuktikan bahwa pelaksanaan hukum ekonomi dalam dunia usaha acapkali tidak
mengindahkan pentingnya penerapan etika. Fakta ini umumnya dipengaruhi oleh
prinsip ekonomi yang bebas nilai. Argumentasi ini diperkuat dengan asumsi bahwa
pasar yang kompetitif tidak akan pernah menjadikan aspek moral sebagai
pertimbangan penting, melainkan aspek produksi dan efisiensi lah yang menjadi
aspek krusial. Sebagaimana dikutip oleh Sethi, Baumol (1991) mengatakan bahwa
pada dasarnya pengusaha akan senantiasa mengikuti kepentingan individu mereka
ketika menjalankan aktivitas produksinya, sebaliknya perfect markets
akan mengalami apa yang disebut sebagai highly imperfect markets
manakala moral conducts menjadi dasar penting dalam menjalankan
usahanya. Hal ini sangat beralasan mengingat seperti apa yang dikatakan oleh
Sethi bahwa pasar yang ideal tidak akan memberikan ruang yang cukup bagi
pengusaha untuk melakukan aktivitas sukarela (voluntary activities) di
luar apa yang menjadi kewajibannya dan apa yang kebanyakan kelompok anjurkan
untuk melakukannya, sebab hal ini akan beresiko terhadap kenaikan pengeluaran
atau bertambahnya cost yang lebih tinggi.
Urgensi Etika dalam bisnis berangkat dari sebuah pertanyaan di
atas terkait dengan seberapa penting etika dalam bisnis, maka dapat dijelaskan
di sini bahwa, etika tidak kalah penting untuk bisa mendorong manusia yang
beprofesi sebagai pelaku usaha/pebisnis dan sejenisnya, agar menjalankan usaha
yang dikembangkannya dengan cara-cara yang baik (tidak melanggar norma serta
aturan yang ada) baik bagi lingkungan kerja maupun masyarakat secara umum. Di
sini pengusaha atau para pemilik modal dituntut tidak sekadar harus mempunyai
komitmen untuk menjalankan bisnisnya sesuai dengan aturan main yang ada, akan
tetapi mempunyai tanggungjawab moral dan sosial terhadap lingkungan kerja dan
sekitarnya. Lebih tepatnya, usaha yang dikembangkan pelaku usaha dalam bidang
apa pun tidak serta merta hanya memikirkan keuntungan semata, melainkan bisa
membawa nilai manfaat bagi pekerja dan masyarakat. Menurut Dalimunthe (2004),
menciptakan etika bisnis perlu memerhatikan beberapa hal antara lain yaitu
pengendalian diri, pengembangan tanggung jawab sosial, mempertahankan jati
diri, menciptakan persaingan yang sehat, menerapkan konsep pembangunan tanggung
jawab sosial, mempertahankan jati diri, menciptakan persaingan yang sehat,
menerapkan konsep pembangunan yang berkelanjutan, menghindari sikap 5K
(Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi, dan Komisi) mampu mengatakan yang
benar itu benar, dan lain sebagainya.
Etika bisnis sangat diperlukan dalam menerapkan dan menciptakan
iklim usaha yang kompetitif, dinamis, dan harmonis. iklim usaha yang kompetitif
tidak hanya berlandaskan kepada asumsi terhadap peningkatan produksi
sebanyak-banyaknya (more supply) dengan menerapkan harga barang dan jasa
semurah-murahnya (lower price). Namun demikian, bagaimana pelaku usaha bisa
menjalankan usahanya berlandaskan pada nilai-nilai moral yang menekankan kepada
pentingya memahami dampak dari setiap aktivitas yang dijalankannya terhadap
pekerja dan lingkungannya. Penting dicatat bahwa dalam dunia usaha, aspek moral
acapkali dikesampingkan sebab mayoritas pelaku ekonomi (pebisnis) selalu
mengacu kepada tujuan ekonomi yang umumnya adalah berlandaskan kepada bagaimana
mereka mampu memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Jika kondisi ini terus
dibiarkan, maka pada gilirannya menyebabkan banyak sekali pengusaha mengabaikan
kepentingan-kepentingan pekerja serta masyarakat luas, sebab paradigma yang
dipakai adalah bagaimana dengan usaha yang dijalankannya tersebut, mereka bisa
meraup keuntungan yang sebesar-besarnya, tanpa memikirkan hak-hak pekerja,
serta dampak yang ditimbulkan dari usahanya bagi masyarakat secara menyeluruh.
Konsep inilah yang pada akhirnya menimbulkan banyaknya praktik-praktik yang
melanggar etika dalam bisnis seperti kolusi, korupsi dan nepotisme, perburuan
rente, penindasan terhadap pekerja oleh majikan atau pemilik modal, upah buruh
yang rendah dan sejenisnya. Bisnis yang dijalankan dengan cara seperti ini
tampak jelas semakin jauh dari rasa keadilan terutama bagi pekerja.
Praktik-praktik semacam ini jelas mengganggu jalannya proses produksi, merusak
kompetisi, dan lain-lain sebab tidak hanya relasi antara pengusaha dan pekerja
yang kemudian menemukan masalah atau kendala, tetapi juga timbulnya kerusakan
lingkungan karena adanya ketidakseimbangan dalam berusaha.
Etika berperan sebagai pengendali bagi pelaku usaha dan pekerja
untuk senantiasa menjaga hak dan kewajibannya sesuai dengan rambu-rambu yang
telah disepakati sebagai sebuah konsensus bersama. Dalam hal ini, Dalimunthe
memberikan penjelasan secara rinci bahwa etika harus senantiasa mengacu kepada
hal-hal sebagai berikut:
Pertama, adalah Pengendalian diri. Pelaku bisnis yang menerapkan
etika adalah mereka yang mampu mengendalikan diri untuk tidak memperoleh apa
pun dari siapa pun dan dalam bentuk apa pun. Pelaku bisnis tidak mendapatkan
keuntungan dengan jalan main curang dan menekan pihak lain dan menggunakan
keuntungan dengan jalan main curang dan menakan pihak lain dan menggunakan
keuntungan tersebut walaupun keuntungan itu merupakan hak bagi pelaku bisnis,
tetapi penggunaannya juga harus memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya.
Kedua, Pengembangan tanggung jawab sosial (social
responsibility). Menurut Dalimunthe, Pelaku bisnis disini dituntut untuk
peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk "uang"
dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi. Sebagai
contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk menjual pada tingkat
harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand harus menjadi perhatian dan
kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk
meraup keuntungan yang berlipat ganda. Dalam keadaan excess demand
pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan memanifestasikan sikap tanggung
jawab terhadap masyarakat sekitarnya.
Ketiga, mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk
terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi. Bukan
berarti etika bisnis anti perkembangan informasi dan teknologi, tetapi
informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian
bagi golongan yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang dimiliki akibat
adanya tranformasi informasi dan teknologi.
Keempat, menciptakan persaingan yang sehat. Persaingan dalam dunia
bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi persaingan
tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya, harus terdapat jalinan
yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah kebawah, sehingga
dengan perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan spread effect
terhadap perkembangan sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan persaingan perlu
ada kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut. Kelima,
menerapkan konsep “pembangunan berkelanjutan". Dunia bisnis seharusnya
tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi perlu memikirkan
bagaimana dengan keadaan dimasa mendatang. Berdasarkan uraian tersebut jelas
pelaku bisnis dituntut tidak meng-"ekspoitasi" lingkungan dan keadaan
saat sekarang semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan dan keadaan
dimasa datang walaupun saat sekarang merupakan kesempatan untuk memperoleh
keuntungan besar.
Kelima, menghindari sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi,
Kolusi dan Komisi). Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti
ini, tidak akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan
segala bentuk permainan curang dalam dunia bisnis atau pun berbagai kasus yang
mencemarkan nama bangsa dan negara.
Etika Bisnis dalam Pandangan Islam
Dari perspektif Islam, etika bisnis merupakan problem yang menjadi
perhatian penting terutama berkaitan dengan tata cara masyarakat muslim
berbisnis. Sebagai sumber nilai, Islam mengatur bagaimana ketika seorang muslim
menjalankan bisnisnya agar terhindar dari apa yang dilarang dalam aturan agama.
Ada beberapa aspek terkait dengan bagaimana islam memandang etika dalam bisnis.
Pertama, islam mengajarkan agar dalam berbisnis, seorang muslim
harus senantiasa berpijak kepada aturan yang ada dalam agama, utamanya
bagaimana pengusaha tidak hanya memikirkan kepentingan sendiri, namun juga bisa
membina hubungan yang harmonis dengan konsumen atau pelanggan, serta mampu
menciptakan suasana saling meridhoi dan tidak ada unsur eksploitasi. Hal ini
sebagaimana ketentuan dalam Al-Qur’an yang memberi pentunjuk agar dalam bisnis
tercipta hubungan yang harmonis, saling ridha, tidak ada unsur eksploitasi (QS.
4:29) dan bebas dari kecurigaan atau penipuan, seperti keharusan membuat
administrasi transaksi kredit (QS. 2: 282).
Kedua bekerja dalam konteks Islam harus didasari atau berlandaskan
kepada iman. Dalam kaitan iman, berbisnis tidak semata-mata mengejar keuntungan
duniawi, melainkan seorang muslim harus senantiasa ingat bahwa apa pun yang ia
kerjakan harus diimbangi dengan komitmen kecintaan kepada Allah. Dengan
demikian, Iman akan membawa usaha yang dilakukan seorang muslim jauh dari
hal-hal yang dilarang dalam hukum jual beli seperti riba, menipu pembeli, dan
sejenisnya. Al qur’an secara tegas menyatakan bahwa seseorang dilarang
melakukan riba dalam usahanya sebaliknya, dia akan mendapatkan azab dari Allah
sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur’an Surat Ali-Imron ayat 130. “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. “(Ali-Imran:
130) Ayat di atas sangat jelas bahwa dalam perspektif islam, berbisnis tidak
semata-mata mengejar keuntungan sehingga karena alasan ini pengusaha dalam
banyak kesempatan melupakan aturan main yang semestinya harus dijalankan.
Memperoleh keuntungan tetap harus didasarkan kepada sikap jujur atau tidak
menimpu dan mengeksploitasi konsumen atau pembeli. Hal-hal yang demikian
termasuk usaha yang tidak mendapatkan ridho Allah.
Sebagaimana dikutip oleh Fauroni (2003) bahwa ditegaskan dalam
al-Qur’an bahwa, amal-amal yang tidak disertai iman tidak akan berarti di
sisi-Nya. (QS. al-Furqan (25): 23). Ayat ini memberi pengertian bahwa setiap
manusia (muslim) yang terjun dalam dunia usaha harus senantiasa ingat akan apa
yang menjadi larangan Tuhan, sebab jika hal demikian dilanggar, maka usaha yang
dilakukannya tidak akan pernah memberikan nilai manfaat baik di dunia maupun
akhirat. Contoh, seseorang yang berbisnis dengan cara tidak halal yakni kerap
menipu pembeli, maka di samping akan mendapatkan kecaman, gunjingan, bahkan
ketidakpercayaan dari pembeli, dalam konteks agama dia juga tidak akan
mendapatkan pahala. Dengan demikian, dia akan memperoleh banyak kerugian karena
bukan tidak mungkin bisnis yang dijalankannya tidak akan berumur panjang, juga
semakin jauh dari ridho Allah.
Kesimpulan
Peranan dalam etika dalam bisnis sangat penting dalam rangka
mendorong peningkatkan nilai manfaat bagi semua pihak tidak hanya konsumen atau
pekerja, namun juga masyarakat secara umum. Etika bisnis bisa menciptakan pola
relasi yang seimbang antara pengusaha dan pekerja, konsumsen dan lingkungan
sekitar, sehingga dampak buruk dari ekses usaha bisa diminimalisir. Hal ini
mengingat etika bisnis merupakan rambu-rambu yang berlaku untuk semua pihak
yang ingin menjalankan bisnisnya. Urgensi bisnis harus dilakukan melalui
beberapa hal. Dalam perspektif islam, etika bisnis sangat dianjurkan demi
terciptanya usaha yang selaras dengan perintah Allah. Alqur’an sebagai sumber
nilai secara tegas menegaskan bahwa seorang muslim yang menjalankan bisnis
harus senantiasa menghindari hal-hal yang di larang seperti melakukan
eksploitasi, menimbulkan dampak buruk terhadap hubungan penjual dan pembeli,
serta diwajibkan senantiasa menjadikan iman sebagai landasaan dalam menjalankan
bisnis yang ditekuninya.
Comments
Post a Comment