Belajar Makna Ikhlas Ketika Ditinggal Orang Tua

Foto Almarhum Bapak dan Almarhumah Ibu

Ditulis: Fatkhuri


Tulisan ini sebelumnya merupakan status yang saya tulis dalam FB saya pada 12 Juni tahun 2018. Saat status ini saya tulis, banyak sekali yang memberikan komentar bernada empati dan jumlah likers sampai ratusan. Status tersebut saya tulis dalam rangka mengenang 10 tahun kepergian kedua orang tua karena kebetulan 12 Juni bertepatan dengan 27 Ramadhan 1439 Hijriyah. Berikut ini adalah uraian tulisan dalam rangka mengenang kepergian orang tua saya saat itu. 

================================================================

Menjelang Mudik, saya merasa perlu untuk menuliskan cerita ini, karena 27 Ramadhan dan 29 Ramadhan merupakan momen bersejarah dalam perjalanan hidup saya. Ya, tanggal-tanggal tersebut teramat spesial. Ini tidak hanya karena tanggal tersebut termasuk bilangan ganjil, di mana Umat Islam di 10 hari terakhir dianjurkan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadahnya untuk menyambut turunnya lailatul qadar (malam kemuliaan). Namun, peristiwa yang terjadi di tanggal 27 dan 29 Ramadhan tersebut telah mengajarkan kepada saya akan arti Ikhlas yang sesungguhnya.


Tanggal 27 Ramadhan adalah bertepatan dengan meninggalnya Bapak saya Allahyarham, dan 29 Ramadhan bertepatan dengan meninggalnya Ibu saya Allahyarhamah. Kok meninggalnya bisa berdekatan ya? Betul sekali, kedua orang tua saya memang meninggal hampir bersamaan karena hanya selisih 2 hari menjelang Hari Raya Idul Fitri 1429 Hijriyah, 10 tahun lalu. Sebuah peristiwa yang benar-benar menjadi batu ujian bagi saya. Keduanya meninggal secara mendadak, tanpa ada signal kalau beliau berdua akan pergi begitu cepat. Saya mengetahui ini karena beberapa hari sebelumnya saya telepon orang tua, dan obrolan kami berjalan normal (baca: Ayahanda dan Ibunda telah tiada). Taqdir memang menjadi kuasa Tuhan. Allah lebih sayang kepada kedua orang tua saya, yang memanggilnya begitu cepat pada saat saya sebenarnya belum siap untuk ditinggalkan. Meskipun kesedihan dan beban hidup harus saya tanggung sendiri, saya masih bersyukur karena Allah memanggilnya di bulan Ramadhan. Semoga beliau berdua mendapatkan Kemuliaan dan ditempatkan di Surga Allah SWT,.Aamiin.

Mengenai peristiwa tersebut, seperti yang saya tulis di atas, sejujurnya saya belum siap saat itu untuk ditinggalkan kedua orang tua. Saat orang tua dipanggil Allah, kebetulan saya belum menikah. Artinya keberadaan saya yang belum berkeluarga membuat saya merasakan ujian dan beban tersebut begitu berat untuk saya tanggung. Sebagai anak Semata Wayang (tunggal), saya merasakan pada saat itu begitu lemah sehingga membutuhkan figur seorang kakak atau adik yang bisa diajak untuk berbagi beban yang saya pikul saat itu. Inilah ujian terberat yang pernah saya rasakan. Tidak mudah untuk bisa move on. Ditinggal orang-orang tercinta, apalagi dalam situasi ketidaksiapan diri cukup mengoyak tiang penyangga semangat hidup saya. Entah apa yang akan terjadi jika fondasi kesabaran dan ketabahan yang saya miliki rapuh saat itu. Saya merasakan saat itu hidup menjadi hambar, dan sejujurnya butuh waktu untuk bisa kembali pada kehidupan normal. Itulah makanya saya sampaikan bahwa saya belum siap waktu itu untuk ditinggal. Belum lagi saat itu saya masih harus menyelesaikan studi di negeri seberang yang baru saja dimulai (kebetulan dapat beasiswa dari ADS untuk studi di ANU Canberra Australia).

Jarak tinggal yang berjauhan saat itu, membuat saya juga tidak memiliki kesempatan untuk mengantarkan Almarhum ayah ke tempat peristirahatan terakhirnya. Ketika itu, Ayah telah dimakamkan sesampainya saya di rumah (H+2 dari meninggalnya beliau). Berbeda dengan Ibu, karena meninggalnya tepat setelah bertemu saya, maka saya memiliki kesempatan ikut memandikan, mensholati dan mengantarkan jenazahnya sampai ke tempat peristirahatan terakhirnya. Kepergian Ibu menyisakan cerita pilu. Saat itu saya baru saja tiba di rumah setelah menempuh perjalanan panjang Canberra-Jakarta, dan Jakarta-Pemalang. Ibu meninggal hanya kurang lebih 5 menit setelah bertemu saya. Kronologisnya, begitu saya tiba di rumah, Ibu langsung memeluk saya dengan erat dan menangis dengan kuat. Ternyata itu momen terakhir pertemuan saya dengan ibu. Setelah memeluk saya, beliau langsung tak sadarkan diri, dan ternyata Allah berkehendak lain, Ibu pun menyusul ayah yang baru saja pergi 2 hari sebelumnya.

Entah berlebihan atau tidak, peristiwa itu hampir saja memupuskan semangat dan harapan saya untuk melangkah. Sampai sempat terpikir, apakah perlu saya lanjutkan studi saya ini? Ini bukan lebay, tapi memang butuh perjuangan maha berat untuk kembali pada kehidupan normal. Bisa dibayangkan, saya yang waktu itu masih hidup sendiri tanpa anak istri, tanpa kakak dan adik, harus ditinggal begitu cepat oleh orang-orang yang saya cintai. Mereka merupakan sosok yang teramat berharga. Bukan hanya karena telah membesarkan saya, tetapi mereka berdua merupakan satu-satunya sumber penyemangat saya dalam menempuh cita-cita. Begitu mereka tiada, saya merasakan kehilangan separuh nyawa saya. Itulah yang membuat saya sempat terfikir untuk tidak melanjutkan studi waktu itu. Alhamdulilah, dengan support keluarga besar, dan sahabat terdekat, dengan berat saya melangkah kembali ke Canberra. Saya merasa terhormat dan berterima kasih sebab begitu tiba di Canberra, Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Australia dan Republik Vanuatu (Bpk Teuku Muhammad Hamzah Thayeb) tanpa diduga menyempatkan berkunjung ke tempat di mana saya tinggal (Toad Hall) saat itu. Beliau didampingi pak Yoni Utomo memberikan ucapan duka untuk saya, dan memberikan support agar saya tetap melangkah maju. Alhamdulilah, atas do’a dan support banyak pihak, semangat saya untuk terus melangkah mulai bangkit, dan pelan tapi pasti saya bisa move on sampai bisa menyelesaikan studi.

Sekarang, Kedua Orang Tua telah 10 tahun tidak bersama saya. 10 kali lebaran tanpa orang tua memang memberikan nuansa yang berbeda. Bahkan semangat untuk Mudik pun sebenarnya tidak lagi saya rasakan karena yang menyambut saya hanya Rumah Kosong tak berpenghuni peninggalan orang tua. Meski begitu, sampai saat ini saya masih sering menyempatkan Mudik untuk berziarah ke Makam Orang Tua dan menengok rumahnya. Untuk anak istri, meski tidak sempat mengenal orang tua saya, saya kadang ajak mereka berziarah ketika mudik. Saya sering bercerita sosok kedua orang tua saya. Saya juga senantiasa ajarkan kepada anak-anak agar selalu berkirim do’a untuk mbah kakung dan mbah putri yang belum sempat dikenalnya.

Orang tua adalah inspirasi saya. Meskipun keduanya bukanlah siapa-siapa, dan tidak ada darah biru mengalir dalam tubuhnya, tetapi mereka berdua adalah permata bagi saya. Mereka yang telah mengajarkan saya akan pentingnya Ilmu, pentingnya kerja keras, dan pentingnya menyayangi antar-sesama. Meski hidup dalam keterbasan ekonomi, tetapi semangat hidup dan kerja kerasnya luar biasa. Itulah yang membuat saya menjadi kuat untuk terus berjalan di saat saya mulai gontai. Itulah yang membuat saya lebih mudah untuk melewati masa-masa sulit saat itu. Sekarang, saya telah membangun keluarga kecil dengan 3 anak (2 laki-laki dan 1 perempuan) yang setiap saat bisa membuat saya bahagia. Kehidupan saya telah kembali normal. Kesepian yang sempat saya alami, perasaan sebagai manusia sebatangkara yang pernah saya rasakan telah terlewati. Anak Istri saat ini telah menjadi pengganti orang tua yang telah tiada. Mereka menjadi sumber penyemangat baru dalam kehidupan saya.

Kini, sebagai wujud ta’dzim saya terhadap kedua orang tua, saya hanya bisa bermunajat kepada Allah semoga kedua orang tua diberikan tempat yang layak di sisi-Nya. Ketika kesempatan membalas budi orang tua tak lagi dimiliki, maka hanya do’a yang bisa saya panjatkan untuk beliau. Untuk itu, pengajian dalam rangka haul ke-10 meninggalnya orang tua juga tak lupa kami selenggarakan. Hanya itu yang bisa bisa kami berikan saat ini. Untuk Kedua Orang Tua saya, semoga Allah SWT mengampuni dosa-dosanya dan menerima semua amal dan ibadahnya, Aamiin


Baca juga: Pengalaman Studi di Canberra: Antara Cita-Cita dan Kesabaran Menghadapi Ujian Hidup

Comments