Pengalaman Studi di Canberra: Antara Cita-Cita dan Kesabaran Menghadapi Ujian Hidup


Oleh FATKHURI

A.    Pengantar

Menghabiskan dua tahun di Canberra (2008-2009) untuk belajar membawa saya pada sebuah kesimpulan bahwa tidak ada segala sesuatu di dunia ini yang didapat tanpa sebuah pengorbanan kesabaran dan kerja keras. Sudah pasti, jalan yang dilewati teramat panjang dan berliku sehingga dibutuhkan kesabaran yang cukup besar. Ketika kerja keras dibarengi dengan kesabaran, maka kesuksesan seseorang sesungguhnya sudah di depan mata. Sebaliknya, ketika seseorang tidak sabar dan menyerah dalam menapaki dasyatnya tantangan atau ujian hidup, maka segala apa yang pernah dicita-citakan hanya menjadi isapan jempol belaka.

Jamak diketahui, setiap insan manusia yang hidup di jagad raya ini pasti punya cita-cita. Cita-cita tersebut biasanya datang dari sebuah imajinasi terlebih dahulu. Ia kadang berawal dari sebuah mimpi. Bagi sebagian orang, belajar di luar negeri merupakan sebuah impian besar. Betapa tidak, menempuh studi di luar negeri, di samping memperoleh banyak pengalaman berharga, juga memberi banyak kesempatan bagi kita untuk menimba ilmu dengan banyak pakar di bidangnya masing-masing di perguruan tinggi ternama. Namun demikian, tidak semua mimpi bisa menjadi kenyataan. Artinya, tidak semua orang bisa menggapai apa yang menjadi mimpi/cita-citanya tersebut. Di luar faktor nasib, biasanya karena kita kurang sabar menghadapinya, sehingga kegagalan demi kegagalan membuat diri kita patah semangat. Padahal di setiap kegagalan yang kita alami sejatinya ada celah sukses yang bisa diraih.  Hanya saja, tidak jarang dari kita tidak memahaminya dan buru-buru putus asa sehingga kegagalan bukan menjadi cambuk bagi keberhasilan sebagaimana pepatah mengatakan. Inilah pelajaran yang saya dapat selama dua tahun menempuh studi Master di The Australian National University (ANU) Canberra.

Sebelum bercerita lebih jauh tentang tema dalam tulisan ini, saya akan bercertia sedikit tentang awal mula menuju Canberra, tempat di mana pada akhirnya saya melabuhkan diri untuk menimba ilmu pengetahuan. Jujur saya harus mengatakan, sebetulnya saya termasuk dari bagian kecil kelompok orang yang tidak punya mimpi kuliah di luar negeri. Alasan yang paling mendasar adalah, pada saat itu saya berfikir bahwa anak kampung seperti saya tidak mungkin bisa menempuh studi ke jenjang lebih tinggi apalagi di luar negeri. Bagi saya, mengenyam pendidikan Strata Satu (S1) di dalam negeri saja sudah lebih dari cukup. Saya mengatakan demikian karena saya merasa, sebagai anak yang terlahir dari keluarga miskin, tentu saya harus realistis bahwa untuk bisa menyelesaikan S1, orang tua harus berjuang mati-matian dengan berhutang ke sana kemari untuk biaya kuliah saya, apalagi harus melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi yakni Strata Dua (S2). Namun demikian, keberuntungan pun datang, di mana kemudian saya termasuk salah satu dari 300 mahasiswa terpilih pada tahun 2007 untuk studi di Australia tepatnya di The Australian National University (ANU) Canberra dengan beasiswa dari Australian Development Scholarship (ADS). Di ANU, saya memilih jurusan Kebijakan Publik. Jurusan yang menurut teman-teman dari Indonesia tempat mangkalnya orang Indonesia. Karena kebetulan, di jurusan ini memang banyak anak-anak Indonesia dibanding dengan jurusan lain.

Sepanjang yang saya tahu, ANU adalah kampus paling bergengsi di Australia. ANU menduduki peringkat pertama secara berturut-turut di Australia menurut Times Higher Education Supplement’s World University Rankings pada bulan Oktober 2008, Oktober 2007 dan Oktober 2006.

Sebagai orang yang tidak pernah belajar di sekolah dan kampus bergengsi, tentu ini merupakan sebuah berkah tersendiri bagi saya. Hasilnya sudah bisa ditebak, saya butuh adaptasi lebih lama dengan lingkungan dan tradisi akademik di ANU. Barangkali tidak berlebihan, jika saya mengatakan bahwa Canberra khususnya ANU adalah tempat di mana saya dilatih untuk menjadi orang yang harus bersabar dalam menjalani hidup. Selama masa studi, saya melewati fase yang paling penting dalam perjalanan sejarah hidup, di mana saya menghadapi dua ujian besar yang hampir memupuskan harapan saya untuk melanjutkan studi. Pertama, saya mengalami cultural Shock dalam bidang akademik. Kedua, saya menerima cobaan besar, yaitu ditinggal orang-orang tercinta (kedua orang tua) hampir bersamaan, di saat saya sedang semangat untuk menempuh kuliah. Harus diakui, dua peristiwa ini di samping membuat diri saya harus bekerja keras (mati-matian) selama studi, juga telah memberikan pesan nyata tentang arti pentingnya sebuah kesabaran dalam menjalani hidup terutama dalam meraih sebuah cita-cita, meskipun pada awalnya saya merasakan teramat berat untuk menjalaninya.

Ilustrasi: Dokumentasi Fatkhuri

 
B.    Ujian kesabaran dalam menghadapi kesulitan di bidang akademik (Cultural Shock)

Belajar di negeri orang dengan tradisi akademik yang relative lebih bagus tidak semulus sewaktu belajar di Indonesia. Saya menghadapi beberapa kesulitan beradaptasi dengan lingkungan akademik di kampus. Tidak jarang hal tersebut membuat saya stress berat. Rasa stress ini membuat saya tidak hanya kehilangan rasa percaya diri, akan tetapi juga mematahkan semangat saya untuk melanjutkan studi. Setiap saya mengikuti materi dalam kelas, kerapkali konsentrasiku terganggu karena tidak faham dengan apa yang disampaikan oleh dosen sehingga saya merasa underestimate/rendah diri.  Rasa stress yang teramat berat ini hampir mendorong saya untuk pindah jurusan, bahkan perguruan tinggi. Sampai pada suatu hari, ketika saya berkunjung ke rumah Ibu Iwu (Ibu Iwu baru beberapa bulan lalu meninggal) dengan kawan saya (Zaini dan Ria), saya sempat menyampaikan keluhan saya dengan Ibu Iwu Utomo. Mba Iwu, demikian kita memanggil adalah salah satu orang Indonesia yang menjadi pengajar di Fakultas Demografi Australian National University (ANU). Beliau memberi saran, jika memang mata kuliah yang dihadapi tidak cocok lebih baik pindah jurusan. Namun demikian, setelah saya renungkan, pada akhirnya saya tetap memutuskan untuk melanjutkan studi di Crawford School serta tidak jadi pindah jurusan yakni tetap di Kebijakan Publik spesialisasi Analisis Kebijakan.

Kesulitan memahami apa yang disampaikan dosen sebetulnya tidak hanya dialami oleh saya. Banyak di antara teman-teman saya juga mengalami hal yang sama. Memang tidak mudah mencerna apa yang disampaikan dosen pada awal-awal perkuliahan. Di samping penyampaian yang sangat cepat, saya butuh waktu untuk bisa beradaptasi baik dengan lingkungan baru maupun dengan materi baru.

Konsekwensinya, kesulitan memahami ilmu baru di mana saya harus belajar tentang ekonomi mikro dan makro yang notabene tidak pernah dipelajari sebelumnya membuat saya harus berjuang keras untuk bisa melewati fase paling mencekam ini. Di awal ketika saya memilih jurusan Kebijakan Publik, saya tidak pernah membayangkan sebelumnya kalau pada akhirnya akan bertemu mata kuliah ekonomi mikro dan makro. Dua mata kuliah ini menguras tenaga dan pikiran saya karena banyak materi-materi yang saya anggap susah, yang menguras waktu lebih banyak untuk memahaminya. Maklum, di samping sebelumnya tidak pernah belajar mata kuliah tersebut, saya juga termasuk orang yang kurang bakat dalam ilmu-ilmu ekskakta sehingga menemukan beberapa topic dalam materi tersebut yang berkaitan dengan analisa kuantitatif serasa masuk dalam kelas neraka. Di awal-awal perkuliahan, saya merasa kewalahan karena seringkali saya tidak bisa memahami apa yang disampaikan dosen. Namun demikian, saya masih beruntung karena punya banyak teman Indonesia yang menguasai mata kuliah tersebut. Dengan susah payah saya mencoba memahami materi tersebut dengan dibantu oleh beberapa temen-temen dari Indonesia sehingga dikit demi sedikit tingkat pemahaman saya mengalami peningkatan.

Praktis di awal perkuliahan, saya sama sekali tidak bisa merasakan kesenangan (happy). Yang ada rasa stress yang terus mengiringi di setiap hari-hari saya. Saya harus bekerja dua kali lipat lebih keras dibanding teman-teman seangkatan yang relative mempunyai latar belakang pengetahuan tentang ekonomi. Dus, hampir tidak ada waktu untuk bersenang-senang.

Namun demikian, berkat kesabaran dan kerja keras, pada akhirnya saya bisa melewati masa-masa paling sulit tersebut. Tentu saya tidak bisa melupakan jasa temen-temen seangkatan saya yang sedikit banyak membantu dalam memahamkan isi materi yang diberikan oleh dosen.

C.    Sabar ditinggal orang-orang tercinta

Ujian kesabaran yang ke dua adalah ketika saya menghadapi musibah mahadasyat yaitu ditinggal ke dua orang tua selama-lamanya. Peristiwa ini terjadi menjelang lebaran iedul fitri 2008. Saat itu studi saya di ANU baru berjalan 9 bulan. Tidak berlebihan kiranya bila saya katakan bahwa Lebaran Idul Fitri 2008 merupakan  satu-satunya lebaran yang cukup membekas dalam sepanjang sejarah hidup saya. Sampai kapan pun dan di mana pun, saya tidak akan pernah melupakan peristiwa sejarah yang teramat penting ini. Karena dalam peristiwa tersebut, saya telah ditinggal oleh orang-orang yang selama ini tidak hanya membesarkan saya tetapi juga dengan tulus dan kerja keras tanpa mengenal lelah memberi semangat agar saya tetap bisa belajar demi masa depan.

Meninggalnya kedua orang tua dalam waktu hampir bersamaan (selisih dua hari) membuat saya merasa kehilangan penyangga hidup. Mimpi indah tentang masa depan seketika sirna. Semangat belajar sudah tidak ada. Kalau toh boleh meminta, barangkali saya akan meminta Tuhan untuk menunda takdir kematian kedua orang tua saya. Satu hal yang membuat saya bersedih karena saya tidak bisa mendampingi Ayahanda di saat menemui ajalnya. Perisitiwa tersebut telah mengajarkan kepada saya tentang makna ikhlas dan sabar dalam menjalani kehidupan.

Di sini saya akan berbagi kisah terkait dengan musibah yang sempat membuat studi saya hampir berantakan. Sebab ketika musibah ini terjadi, hampir saja saya memutuskan untuk tidak kembali ke Canberra atau tidak akan melanjutkan studi saya.

Ayahanda Tiada

Saat itu, Sabtu siang tanggal 27 September 2008 atau 27 Ramadhan 1429 Hijriyah kira-kira jam 11.30 waktu Australia atau 8.30 WIB, Mas Muhamad Ali Mustafa (suami dari adik sepupu saya) menelpon dari Jakarta. Sedikit pun saya tidak mempunyai firasat apa-apa ketika dia menelpon. Di tengah-tengah kesibukan kerjaan saya pada saat itu (kebetulan setiap dua minggu sekali ketika weekend dating saya bekerja), HP saya berdering. Setelah saya mengambil HP dari dalam saku celana, tampak Mas Muhammad yang menelpon. Dimulai dari salam pembuka, dia menanyakan kabar saya. Setelah menjawab pertanyaan pembuka, dia langsung menanyakan, apakah lebaran tahun 2008 ini bisa pulang. Spontan saya jawab, saya tidak bisa pulang, sebab biaya untuk pulang sangat mahal. Kalau toh pulang, rencana baru bulan Desember 2008, karena saya ada libur panjang (Summer holiday). Mendengar jawaban saya, dia bertanya lagi, berarti dalam kondisi apa pun, njenengan (kamu) tidak pulang mas? Saya jawab, tidak. Sejenak dia berhenti bicara, dan langsung seketika itu dia menangis keras sebelum akhirnya menyampaikan bahwa “ayah saya telah meninggal”. Kontan saja saya kaget, bagai disambar petir disiang bolong. Perasaan saya campur aduk, antara percaya dan tidak, sebab baru dua minggu sebelumnya saya telpon ayah dan ibu, mereka dalam kondisi sehat-sehat saja. Sambil menangis kencang,  mas Muhammad bertanya lagi, apakah saya bisa pulang atau tidak? Dalam kesedihan yang begitu mendalam, serta perasaan yang makin tidak menentu, diselingi rasa percaya dan tidak (dan sempat terbesit, apakah ini cara dia untuk meminta agar saya bisa pulang untuk berlebaran dengan keluarga), saya meminta mas Muhammad untuk menelpon 3 jam lagi, sebab pada saat itu saya belum bisa mengendalikan diri dan belum bisa memberikan komentar apa-apa sementara pada saat yang sama harus menyelesaikan pekerjaan.

Mendengar permintaan saya, mas Muhammad pun menutup pembicaraan dan tetap dalam kondisi menangis. Setelah memasukan HP ke saku celana, saya tertegun, diam dalam kebisuan dan tidak tau apa yang harus dikerjakan. Meski belum percaya seratus persen, tak kuasa, tetes demi tetes air mata pun berderai dan berjatuhan membasahi pipi saya. Di tengah-tengah kesibukan kerja, saya tidak bisa menahan rasa pilu yang begitu mendalam, hati saya serasa sakit tersayat, dan perasaan saya begitu pedih, membayangkan di tinggal orang yang selama ini mencurahkan hidupnya hanya untuk saya si anak tunggal. Yang lebih pedih lagi, kabar buruk itu datang disaat saya sedang bersemangat untuk belajar dan ingin membagi keberhasilan saya dengan orang tua. Harapan inilah salah satunya yang membuat semangat belajar saya seketika hilang ketika mendengar orang tua tiada.

Kira-kira 30 menit berlalu sejak saya menutup pembicaraan dengan mas Muhamad. Disela-sela saya meneruskan pekerjaan di mana saya tetap tak kuasa menahan kesedihan sambil menangis sesenggukan, tiba-tiba HP saya bergetar, pertanda bahwa ada SMS yang masuk. Saya buka SMS tersebut dan ternyata Om Faizin (saudara sepupu ayah yang tinggal di kampung) memberi kabar bahwa ayah telah tiada. Penggalan kata demi kata dalam SMS tersebut saya baca, dan kata pembukanya adalah “Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raaji’uun”. Setelah membaca kata pembukanya, seketika itu pula hati saya semakin tersayat sebab berita tersebut semakin memantapkan keyakinkan saya bahwa ayah memang telah meninggal. Dalam isi SMSnya, Om Faizin meminta saya untuk bersabar dan tabah karena semua ini sudah atas kehedakNya. Dia meminta agar saya ikhlas menerimanya.  Selanjutnya Om Faizin meminta persetujuan saya, apakah jenazah  ayah bisa langsung dimandikan, dikafani dan disholatkan. Saya balas SMS tersebut dengan mengatakan bahwa saya ikhlas menerima semua ini, dan saya mempersilahkan jenazah untuk bisa dimandikan, disholatkan dan langsung dimakamkan.

Setelah membalas SMS Om Faizin, 5 menit kemudian telpon berdering, dan ternyata Mas Muhammad menelpon kembali. Dia bertanya tentang kepastian saya pulang kapan dan akhirnya saya jawab, Saya akan pulang secepatnya, tapi saya harus konsultasi dahulu dengan Liaison Officer (LO) saya dikampus. Saya katakan karena hari ini sabtu, kemungkinan baru ada kabar lagi senin sebab di hari itu saya baru bisa ketemu LO. Akhirnya pembicaraan selesai dan dalam penutupnya saya meminta mas Muhammad untuk meminta orang di rumah agar menjaga Ibu saya dan ikut menenangkan Ibu.

Yakin bahwa ayah memang telah tiada, setelah menyelesaikan pekerjaan, saya bergegas pulang. Sebelum sampai Toad Hall (apartement dimana saya tinggal), saya terlebih dahulu mencari agen Ticket pesawat. Dan ternyata semua agent ticket tutup sebab hari itu hari sabtu di mana semua kantor-kantor tidak ada yang buka.

Akhirnya saya pulang ke Toad Hall, dan sesampainya di kamar, saya tidak dapat menahan tangis. Untuk meluapkan kesedihan yang teramat dalam, saya menangis sejadi-jadinya. Dalam kebingungan saya karena tidak bisa mendapatkan ticket pesawat, saya menelpon salah seorang temen saya dan memberitahukan berita duka tersebut. Sejurus kemudian saya bergegas ke kamar mandi, dan di dalam kamar mandi saya tetap tidak bisa menahan tetesan air mata saya.

Setelah mandi dan sholat dhuhur, Om Faizin SMS memberitahukan bahwa prosesi pemakaman telah selesai. Saya kemudian menelpon Om faizin dan meminta tolong dia untuk menyampaikan ucapan terima kasih saya kepada keluarga besar, tetangga dan masyarakat umum yang telah membantu proses pemakaman dari awal sampai akhir. Selang beberapa menit kemudian, beberapa temen datang ke kamar saya untuk mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya ayahanda. Teman-temen juga bertanya kapan saya akan pulang, dan saya jawab secepatnya saya ingin pulang, tapi hari ini kantor atau agen tiket pesawat tutup semua. Akhirnya temen-temen berinisiatif membantu mengusahakan tiket pesawat dengan cara Online. Satu jam berlalu, akhirnya proses pemesanan tiket lewat Online pun kelar. Dalam tiket tersebut saya meminta pulang hari minggu tanggal 28 (satu hari setelah ayah tiada).

Saya sangat berterima kasih sekali kepada temen-temen (Tri, Putu, Danang, Zainal, Wawan, Rahman dan sebagainya) yang telah sudi meluangkan waktunya untuk membantu pemesanan tiket pesawat dan sebagainya tanpa mereka saya tidak tahu pasti apakah bisa pulang cepat atau tidak.

Tepat jam 5.30 waktu Australia bersama Wawan (teman satu kelas) saya pergi ke KBRI untuk ikut acara buka puasa bersama sekaligus meminta keikhlasan hadirin untuk bisa memberikan do’a dan sholat ghaib. Setelah selesai buka bersama dan sholat Maghrib dilanjutkan dengan sholat Ghaib, akhirnya saya kembali ke Toad Hall untuk beristirahat. Sepanjang malam itu saya tidak bisa memejamkan mata. Berat sekali rasanya ditinggal seorang Ayah tercinta. Dan saya tidak bisa membayangkan bagaimana kondisi Ibu di rumah yang tidak mempunyai siapa-siapa selain saya. Pastinya Ibu sangat shock dengan kenyataan ini. Kondisi inilah yang mendorong diri saya untuk secepatnya pulang sebab saya tidak tega dengan kesendirian ibu dalam situasi seperti ini. Sedangkan untuk menemui LO yang rencananya hari senin, saya batalkan karena saya sudah tidak sabar ingin pulang. Yang terpikir saat itu adalah bahwa saya harus cepat menemui ibu dan bisa menghibur ibu semaksimal mungkin serta bagaimana caranya membuat ibu bisa tersenyum.

Minggu pagi tanggal 28 September 2008, jam 9 saya meninggalkan Toad Hall menuju ke airport ditemani Wawan, Zainal, Nanang dan Rahman (semua temen satu apartement). Tepat jam 11.55, saya memasuki awak pesawat menuju ke Sydney. Sesampainya di Sydney, saya bertemu dengan beberapa orang-orang Indonesia yang ingin pulang. Dan kira-kira pukul 14.00, saya melanjutkan perjalanan menuju ke Jakarta. Dalam perjalanan saya selalu terbayang akan sosok ayah dan yang membikin saya selalu tidak bisa menahan air mata adalah ketika membayangkan bagaimana detik-detik menjelang ayah meninggal (baca: kronologi meninggalnya ayah). Hati saya terasa tersayat, sebab dalam kondisi payah ketika mau meninggal, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Di sisi lain, saya sangat sedih karena sebagai anak satu-satunya, saya belum banyak berbuat banyak hal untuk orang tua.

Alhamdulilah tepat jam 7.45 pesawat Qantas mendarat di bandara Soekarno Hatta dengan selamat. Sesampainya dibandara, saya dijemput oleh saudara yang tinggal di daerah Cakung Jakarta timur. Malam itu juga saya langsung meluncur ke rumah saudara untuk beristirahat selama satu malam. Setelah menempuh perjalanan selama hampir satu jam, akhirnya kita betiga (dengan saudara dan sopir) sampai di Cakung. Dan alhamdulilah, di cakung itulah saya bisa beristirahat dengan sedikit tenang dimana saya bisa tidur pulas.

Pagi hari (Senin, 29 September 2008) setelah Makan Sahur dan dilanjutkan dengan sholat shubuh, tepatnya pukul 6 pagi, saya melanjutkan perjalanan ke Pemalang.  Pada awalnya saya diantar oleh salah satu saudara, namun karena begitu padatnya penumpang dan susah sekali mencari bus di terminal pulo gadung (saat itu arus mudik lebaran sedang sampai puncaknya), akhirnya saya pulang sendiri dan saudara menyusul dengan bus berikutnya.

Pukul 5.30 sore saya sampai di terminal Pemalang. Di sana saya sudah dijemput oleh Om faizin, Kaspuri, Sarono dan Taufik (sodara sepupu). Mengingat waktu sudah malam, dan kita belum sempat berbuka puasa, akhirnya di Randudongkal kita mampir kerumah makan untuk berbuka puasa. Setelah selesai makan, kita langsung meluncur ke rumah, namun saya meminta sebelum sampai rumah untuk berziarah ke makam ayah terlebih dahulu. Di makam ayahanda, saya berdoa dan menyampaikan permintaan maaf saya kepada ayah, karena tidak bisa mendampingi dan menolong ayah sampai meninggal. Saya juga menyampaikan bahwa saya tetap akan melanjutkan studi karena saya yakin ayah akan mendukung niat saya tersebut. Sekitar jam 7.45 setelah selesai berdoa di makam ayah, saya dan saudara langsung meluncur ke rumah dan sampai disana jam menunjukan pukul 7.55 Wib.

Ibunda Tiada

Belum selesai melepas kepiluan dan menerima kenyataan pahit ditinggal sang ayah, Ternyata Allah mencoba saya dengan ujian yang maha berat. Tanggal 29 September 2008 atau 2 hari setelah ayahanda tiada, sekitar jam 8 lebih, Ibunda tercinta menyusul Ayah. Cobaan ini saya katakan sebagai ujian yang maha berat selama hidup saya. Betapa tidak, kedua orang tua yang saya cintai, harus pergi selama-lamanya dalam waktu yang hampir bersamaan. Secara akal sehat, saya menganggap bahwa saya tidak kuat menjalani semua ini. Bagi saya, ditinggal sang ayah saja cukup berat dimana saya butuh waktu dan proses yang sangat panjang untuk bisa mengikhlaskan. Tapi ternyata Allah berkehendak lain, dalam situasi di mana saya harus berjuang keras mengikhlaskan ayah, ternyata Sang Ibu juga begitu cepat meninggalkan saya dan kejadian ini tanpa firasat sebelumnya.

Ibu meninggal sesaat setelah bertemu saya (baca: krononolgi meninggalnya Ibu). Saat itu jarum jam menunjukan pukul 7.55 WIB saya sampai dirumah. Di masjid terdengar (kebetulan rumah dekat masjid) sayup-sayup suara Imam melantunkan lafadz-lafadz Alqur’an dalam rangka menjalankan sholat Tarawih yang ke 30 (terakhir). Saat saya datang bersama saudara, Jamaa’ah sholat tarawih belum selesai.

Sesampainya di rumah, saya langsung turun dari mobil dan bergegas menuju kerumah untuk bertemu dengan Ibunda. Rasa kangen selama 9 bulan tidak bertemu sungguh sangat terasa. Terlebih suasana haru yang mengiringi setiap derap langkahku ketika menuju kerumah semakin membikin saya harus mempercepat langkah kaki saya.

Begitu sampai di halaman depan rumah, terlihat beberapa orang (ibu-ibu) dan perempuan lagi duduk-duduk di serambi rumah. Sepertinya mereka sedang menanti sesuatu. Ternyata betul, mereka adalah tetangga dan kerabat yang menemani Ibunda menanti kedatangan saya.

Lampu penerangan di depan rumah tidak begitu terang, sehingga begitu saya datang, saya tidak begitu jelas melihat wajah-wajah mereka. Namun, kontak batin antara seorang anak dan Ibunya sangatlah kuat. Sehingga begitu saya datang, Ibu langsung bergegas menjemput saya. Pertemuan dua manusia yang mempunyai hubungan darah dan sekian lama tidak bertemupun tak terhindarkan. Melihat anaknya datang, Ibu langsung memeluk sesaat sebelumnya berjabat tangan. Dalam pelukan, Ibu sesenggukan menangis. Pelukan Ibu sangat erat sekali. Sangat terasa, betapa beliau sangat kangen kepada anaknya setelah sekian lama tidak bertemu. Rasa kangen ibu sebetulnya pernah diungakpan ketika awal bulan ramadhan saya menelpon. Beliau bilang bahwa setiap kali mengingat saya, beliau selalu menitikan air mata. Wajar saja, begitu ketemu, ibu tak kuasa menahan rasa rindunya, ditambah ibu dan saya dalam kondisi berkabung.

Kedatangan saya tentu membuat ibu senang dan terharu. Dalam kondisi di mana ibu memeluk erat, Ibu sempat mengucapkan beberapa patah kata (Baca: kronologi meninggalnya Ibu) yang pada intinya beliau tidak sanggup ditinggal Ayahanda. Sebagai seorang anak (terlebih tidak mempunyai kakak dan adik), saya sangat kasihan dan merasa bersalah. Sebab ketika ayahanda meninggal, saya tidak bisa menemani dan menghibur Ibu. Untuk menenangkan hati Ibu, saya memohon Ibu untuk bersabar dan tabah menghadapi cobaan ini sebab semua yang terjadi sudah di takdirkan oleh Allah Swt.

Tidak lama setelah saya mengatakan kata-kata tersebut, Ibu tetap sesenggukan menangis dan semakin mengeratkan pelukanya. Karena kasihan, tetangga dan saudara menyarankan agar Ibu dibawa masuk kerumah. Akhirnya Ibu saya papah untuk masuk kerumah dan dalam perjalanan masuk itulah, kondisi Ibu sudah sangat lemah sekali sehingga beliau tidak kuat dan akhirnya jatuh pingsan.

Saya tidak tahu persis jam berapa Ibu meninggal, tapi menurut perkiraan saya, Ibu meninggal sekitar pukul 8 lebih. Melihat Ibu pingsan, saya akhirnya membawanya masuk ke kamar beliau. Di sana saya rebahkan tubuh Ibu yang terlihat lunglai. Saya suruh saudara sepupu untuk mengambil air putih. Ketika air putih tersebut saya minumkan, ternyata Ibu tidak memberikan respon apa-apa. Dalam kondisi seperti itu, saya masih yakin bahwa Ibu masih bisa tertolong. Ibu saya olesi minyak kayu putih di sekitar tangan, kaki dan hidungnya. Namun dalam sepersekian detik, terbesit dalam benak saya, bahwa posisi ibu seperti orang yang sudah meninggal. Hanya saja saya tidak berani untuk bilang ke orang-orang di sekitar. Akhirnya saya mencoba mendengarkan detak jantung Ibu. Namun sedikitpun tidak terdengar detak jantungnya. Saya kemudian menyuruh saudara sepupu untuk mendengar detak jantungnya. Dia pun tidak mendapatkan sinyal apa-apa. Akhirnya dia berinisiatif untuk memanggil Yuni. Yuni adalah anak sepupu yang kebetulan  lulusan pendidikan Kesehatan (kesmas).

Melihat kondisi ibu yang terlihat kritis, saya keluar kamar dan menangis di depan kamar Ibu. Karena capek dan tubuh terasa tidak nyaman dengan cucuran keringat, saya memutuskan untuk mandi sebab semenjak datang belum sempat istirahat. Ketika saya selesai mandi, Ibu sudah dibawa ke rumah sakit dan saudara meminta saya untuk tenang saja dan tidak usah memikirkannya.

Setelah selesai mandi, saya langsung ganti pakaian karena para tamu-tamu sudah berdatangan untuk mengikuti doa Tahlil untuk malam ke tiga ayahanda. Ketika mengikuti acara Tahlil, Perasaan saya sangat sedih, sebab saya ingat Ayahanda dan dalam waktu bersamaan Ibu kondisinya kritis. Tapi dalam benak saya, saya masih optimis bahwa nanti malam atau besok pagi Ibu pasti akan siuman dan saya bisa berkomunikasi dengan Ibu.

Rupanya Allah berkehendak lain, begitu acara tahlil selesai dan beberapa orang sudah mulai meninggalkan rumah, Ustadz Hamim, pemimpin tahlil dan guru ngaji saya, menerima telpon yang isinya tentang informasi bahwa Ibunda saya telah meninggal ‘Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raaji’uun’. Mendengar berita tersebut, seketika itu pula saya menangis sejadi-jadinya. Rasa kecamuk dalam hati bercampur aduk dengan segalam macam duka nestapa. Semua saudara berusaha menghibur saya untuk tetap tenang. Namun, tetap saja saya tidak bisa menghentikan jeritan tangisan saya.

30 menit berlalu akhirnya saya mulai bisa menenangkan diri dan tidak menangis lagi. Begitu mobil ambulan yang membawa Ibu dari Rumah sakit tiba, saya bergegas menjemputnya diluar rumah. Di luar masyarakat sudah berdesak-desakan untuk menyaksikan jenazah Ibu saya. Dengan di papah oleh beberapa orang, saya berjalan keluar kira-kira 10 meter untuk melihat jenazah ibu di mobil ambulan. Ketika saya sampai, mobil ambulan di buka dan terlihat jenazah Ibu sedang berbaring. Pada saat bersamaan, saya ingin mencium Ibunda tercinta. Namun saudara tidak mengizinkan mencium di sana dan akhirnya Jenasah dibawa kerumah. Sesampainya di rumah, jenazah ibunda langsung diletakan diruang tengah dan sampai akhirnya saya mencium muka dan kening Ibu untuk yang terakhir kalinya.

 

D.    Penutup

Demikian kisah perjalanan hidup saya ketika menempuh studi Master di ANU Canberra. Banyak kejadian-kejadian besar dan penting yang saya alami, dan menguji keimanan dan kesabaran saya. Dua pelajaran berharga tersebut di atas memberikan pesan terhadap saya bahwa dalam menapaki perjalanan hidup demi sebuah cita-cita, ternyata tidak seindah yang dibayangkan. Akan ada banyak peristiwa-peristiwa/kisah yang kadangkala terjadi di luar dugaan kita. Semua yang kita alami merupakan ujian akan ketabahan dan kesaraban kita. Peristiwa tersebut di samping melatih diri saya untuk ikhlas, juga menguji kesabaran saya. Alhamdulilah, berkat doa dan support teman-teman baik di tanah air maupun di Australia, saya bisa melewati fase paling sulit dalam hidup saya. Di satu sisi saya harus ikhlas dengan kepergian ke dua orang tua, di sisi lain saya harus terus melangkah demi sebuah cita-cita.[]

x

Comments