- Get link
- X
- Other Apps
- Get link
- X
- Other Apps
Oleh Fatkhuri
A. LATAR
BELAKANG
Siapa pun ketika
berbicara desa yang ada di pikiran mereka adalah suatu wilayah yang memiliki ciri-ciri
terbelakang dan terisolir. Secara geografis, letak desa memang berada pada
jarak yang umumnya cukup jauh dari perkotaan (periphery), terpencil, dan sebagian di daerah kepulauan. Dengan
jarak yang begitu jauh dari perkotaan, dapat dipastikan bahwa penduduk desa
memiliki akses yang sangat terbatas terhadap berbagai sumber dasar seperti
pendidikan, informasi, kesehatan dan sejenisnya. Dengan
keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh penduduk desa terhadap akses
sumber dasar yang ada, wajar jika kemudian desa selalu dianggap marginal dan
terbelakang.
Dalam melihat
realitas keterbelakangan di pedesaan, hal yang umum digunakan adalah dengan
membandingkan tingkat pendidikan dan ekonomi masyarakat pedesaan dengan
perkotaan. Jika keduanya dibandingkan, memang tampak sekali bahwa akan muncul gap yang sangat tinggi. Penduduk kota
memiliki tingkat ekonomi dan tingkat pendidikan
yang relatif lebih baik dari penduduk desa. Meskipun di banyak tempat saat
ini desa sudah mulai berkembang, namun tidak dapat dipungkiri bahwa kondisinya
masih jauh jika dibandingkan dengan perkotaan. Misalnya dilihat dari variabel kemiskinan,
penduduk desa masih menunjukan dominasi jika dibandingkan dengan penduduk kota.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada September tahun 2012 menunjukan
bahwa penduduk miskin pedesaan baik di provinsi maupun dalam skala nasional lebih
tinggi jumlahnya dibandingkan dengan penduduk perkotaan. Contoh, di Jawa Timur
sebagai salah satu provinsi dengan penduduk terbesar di Indonesia, jumlah
penduduk miskin di kota sebanyak 8.90%, sebaliknya jumlah penduduk miskin di
desa mencapai 16.88 %. Sementara di Sulawesi Selatan, jumlah penduduk kota yang
miskin yaitu 4.44%, sebaliknya jumlah penduduk miskin pedesaan mencapai 12.93%.
Dalam skala nasional Persentase Kemiskinan di seluruh Indonesia juga
menunjukkan trend yang tidak jauh
berbeda di mana penduduk desa lebih banyak daripada penduduk kota yaitu
sebanyak 8.60% untuk penduduk kota, dan 14.70% untuk penduduk desa.
Data yang sama
juga ditunjukkan pada akses masyarakat terhadap pendidikan di mana terdapat
kesenjangan antara penduduk perkotaan dan pedesaan. Di provinsi Jawa Tengah
misalnya, data hasil rilis BPS (Susenas) tahun 2009—2012 menunjukkan kesenjangan
terjadi tidak hanya dilihat dari tempat tinggal, tetapi juga dari aspek gender antara laki-laki dan perempuan.
Di Jawa Tengah, persentase penduduk dengan usia 10 tahun ke atas yang
tidak/belum pernah sekolah pada tahun 2012
untuk daerah perkotaan sebanyak 2.71 % (laki-laki) dan 7.69%
(perempuan). Sebaliknya di daerah pedesaan (tertinggal), penduduk dengan usia 10
tahun ke atas yang tidak/belum pernah sekolah pada tahun 2012 sebanyak 4.43%
(laki-laki) dan 11.32% (perempuan).
Data tersebut
secara kasad mata mengkonfirmasi anggapan sebagian besar masyarakat selama ini
bahwa antara desa dan kota terjadi kesenjangan yang luar biasa. Kemiskinan dan
pendidikan masyarakat desa menjadi problem krusial yang secepatnya harus
mendapatkan perhatian dari seluruh stakeholders
terutama pemerintah baik pusat dan daerah.
Berangkat dari
realitas tersebut di atas, seperti apa sebenarnya realitas desa yang
sebenarnya? Mengapa kemiskinan lebih banyak ditemukan di pedesaan? Apa solusi
terhadap masalah-masalah tersebut? Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan
tersebut akan diuraikan dalam tulisan ini.
B.
REALITAS SOSIAL DAN KULTURAL PEDESAAN
Secara
konseptual, banyak ahli mendefinisikan masyarakat pedesaan adalah sekelompok
orang yang hidup berdampingan dalam jangka waktu lama yang tinggal di wilayah
tertentu. Sekelompok orang yang mendiami wilayah tersebut umumnya diikat oleh
sebuah prinsip yang diakui dan diyakini kebenarannya sebagai pedoman untuk
keberlangsungan hidup mereka. Sejalan dengan pengertian tadi, penduduk pedesaan
juga umumnya disebut sebagai masyarakat kecil yang hidup bersama di lokal
tertentu di mana masing-masing individu merasa bagian dari kelompok, yang
merasa memiliki tanggung jawab bersama dan diikat oleh norma-norma yang mereka
taati bersama. Gambaran secara sederhana masyarakat pedesaan dapat disebut sebagai
masyarakat tradisional, sebab kehidupan mereka masih banyak dikuasai oleh adat
istiadat lama. Penting dimengerti bahwa adat istiadat yang menjadi pijakan
masyarakat desa merupakan suatu aturan yang sudah mantap dan mencakup segala
konsepsi sistem budaya yang mengatur tindakan atau perbuatan manusia dalam
kehidupan sosial mereka. Adat istiadat ini berlaku turun temurun karena diwarisi
dari nenek moyang penduduk desa. Adat istiadat ini pula yang menyebabkan
kebanyakan masyarakat desa tidak mudah dipengaruhi atau terkontaminasi budaya
baru yang datang dari luar. Dengan demikian, kebudayaan pada masyarakat desa
umumnya tidak mengalami perubahan yang cukup ekstrim sebab peranan
adat-istiadat sangat kuat menguasai kehidupan masyarakat pedesaan.
Ilustrasi: Dokumentasi Fatkhuri
Masyarakat
pedesaan secara umum mendiami suatu wilayah dalam jangka waktu lama karena
memiliki dua prinsip yang dimiliki yaitu prinsip geneology dan relasi sosial yang kuat. Sebagaimana diuraikan oleh
Koentjaraningrat bahwa masyarakat desa mengikat diri menjadi suatu persekutuan
hidup dan kesatuan sosial didasari oleh dua prinsip penting yaitu: 1) prinsip
hubungan kekerabatan (geneologis);
dan 2) prinsip hubungan tinggal dekat/teritorial. Prinsip hubungan kekerabatan
(geneologis) memberikan sebuah
gambaran bahwa masyarakat pedesaan umumnya masih memiliki pertalian
darah/hubungan famili satu sama lain (kinship).
Hubungan kekerabatan terjalin kuat karena pada awalnya orang tua tidak mau
berpisah dengan anak-anaknya. Bagi keluarga yang tingkat ekonominya relatif
baik/mapan, orang tua tidak segan-segan memberikan sebidang tanah yang tidak
jauh dari rumahnya kepada anaknya untuk dibuatkan rumah terutama bagi mereka
yang telah berkeluarga. Namun, bagi keluarga yang tingkat ekonominya rendah
(miskin), orang tua biasanya membiarkan anak-anaknya yang telah berkeluarga
untuk hidup bersama dalam satu rumah besar. Kehidupan bersama inilah yang
kemudian membuat hubungan kekerabatan antara orang tua dan anak bahkan sampai
cucu terpelihara dengan baik. Prinsip kekerabatan meskipun saat ini sudah mulai
terkikis, tetap dipegang kuat oleh penduduk desa. Selain prinsip kekerabatan, masyarakat pedesaan juga diikat oleh prinsip
hubungan tinggal dekat/teritori. Hubungan ini menandakan bahwa masyarakat
pedesaan tidak terpisah jarak satu sama lain. Mereka hidup mengelompok satu
sama lain dan menjalin hubungan yang intim/akrab. Pada titik inilah prinsip
persaudaraan masyarakat pedesaan terjalin kuat. Dua prinsip tadi pada akhirnya
memberikan kontribusi besar kepada karakteristik masyarakat pedesaan yang
identik dengan kebersamaan karena penduduknya memiliki solidaritas yang tinggi.
Dari uraian tadi wajar jika desa pada akhirnya dinilai sebagai standar dan
pemelihara sistem bermasyarakat dan kebudayaan asli yang telah berkembang sejak
lama seperti tolong-menolong, persaudaraan, gotong-royong, kesenian, adat
istiadat dan sebagainya, dan berbeda dengan masyarakat perkotaan yang identik
dengan individualistik, kompetisi, dan sebagainya.
Selain uraian
mengenai karakteristik pedesaan yang penduduknya hidup berkelompok dan memiliki
tradisi kuat, sebagaimana diuraikan di awal, desa umumnya juga diidentikan
dengan kemiskinan. Kenapa desa selalu identik dengan kemiskinan? Kemiskinan
terjadi karena sumber mata pencaharian di pedesaan sangat terbatas dan hampir
seragam satu sama lain seperti bertani, nelayan dan sebagainya. Di sisi lain,
kemiskinan terjadi karena faktor geografi dan topografi desa yang tidak
menguntungkan di mana mayoritas desa terletak di daerah pinggiran kota (periphery), dan lebih parah pagi di
daerah-daerah terpencil, terluar, dan terdepan (daerah perbatasan). Kondisi
alam yang tidak begitu menguntungkan menyebabkan mata pencaharian masyarakat
tidak memiliki banyak alternatif mata pencaharian sebagaimana terjadi pada
masyarakat perkotaan. Berkaitan dengan
isu kemiskinan ini, Kate Bird dkk., dalam karyanya yang berjudul “chronic poverty and Remote rural areas” menganalisis
desa ke dalam beberapa tipologi sebagai berikut:
1)
Daerah dengan kondisi alam
yang sangat ekstrim di mana kondisi infrastruktur dan jaringan komunikasi
sangat terbatas. Daerah ini juga tergolong sulit dijangkau karena kondisi
topografi desa umumnya berada di daerah pegunungan (mountains), rawa-rawa (swamps),
gurun (deserts), dan pulau-pulau (islands).
2)
Potensi alam daerah yang
sangat rendah yang digambarkan sebagai low-potential
areas antara lain seperti kondisi tanah yang gersang/tandus (semi-arid), lahan subur yang terbatas (limited topsoil) dan lain-lain.
3)
Kemiskinan terjadi karena
faktor ekslusi sosial politik masyarakat (social-political
exclusion) pedesaan. Tertutupnya
akses masyarakat pedesaan terhadap kehidupan sosial politik karena faktor bahasa,
identitas seperti kasta (caste),
agama (religion), suku (tribe), etnik (ethnicity), kelas (class)
maupun gender menyebabkan persentasi
masyarakat desa yang miskin cukup tinggi. Banyak kita jumpai di banyak tempat
bahwa etnik, suku, agama, dan gender masih menjadi penghalang masyarakat
pedesaan untuk beraktualisasi karena adanya diskriminasi dari kelompok tertentu
dan pemerintah.
4)
Desa merupakan suatu daerah
di mana biasanya konflik berkepanjangan senantiasa terjadi. Konflik yang
berkepanjangan pada akhirnya mengakibatkan banyaknya sumber-sumber dasar (the resource base) dan
kapabilitas masyarakat (people’s
capabilities) menjadi rusak/terdegradasi.
Beberapa kondisi di atas menjadi kendala
bagi pedesaan untuk keluar dari belenggu keterbelakangan. Dibutuhkan tidak
hanya perhatian namun keberpihakan pemerintah dan seluruh stakeholders terkait untuk dapat mendorong desa agar dapat keluar
dari ranjau keterbelakangan.
C. SOLUSI
MENINGKATKAN TARAP HIDUP DESA
Berangkat dari
uraian di atas, dapat dimengerti mengapa ketimpangan sangat mencolok antara
desa dan kota. Keterbelakangan baik dalam aspek pendidikan, ekonomi, maupun
akses terhadap fasilitas kesehatan tidak semata-mata disebakan oleh faktor
sosial-kultural masyarakatnya yang secara kuat memegang prinsip dan kultur
kekerabatan dan tradisi/adat istiadat, tetapi jika ditelisik lebih dalam lagi,
juga disebabkan karena faktor sosial politik dan geografi daerah yang tidak
menguntungkan bagi daerah pedesaan. Kondisi ini tentu menjadi tantangan
tersendiri bagi masyarakat desa, juga bagi pemerintah.
Dari perspektif
sosial-kultural, secara internal masyarakat pedesaan harus mulai terbuka dengan
dunia luar. Dua prinsip sebagaimana diuraiakan Koentjaraningrat di atas
tentunya sangat penting dalam rangka menjaga adat istiadat dan identitas desa
yang memiliki keunikan yang berbeda dengan daerah perkotaan, namun demikian,
masyarakat tidak boleh alergi terhadap perubahan. Melanggengkan kebudayaan yang
dimiliki tentu sangat penting dalam rangka menjaga kearifan lokal, tetapi
masyarakat desa harus memiliki misi dan visi jelas dan terukur sehingga mereka
dapat mengambil inisiatif untuk merubah nasib mereka. Tanpa perubahan mind set yang selama ini memang telah
mengakar kuat pada masyarakat desa, tentunya mereka akan sulit untuk keluar
dari belenggu keterbelakangan karena salah satunya minimnya persaingan di
antara mereka. Masyarakat yang hidup bersama dengan mata pencaharian yang tidak
jauh berbeda biasanya tidak memiliki motivasi yang tinggi untuk bersaing satu
sama lain. Kalau pun di antara penduduk desa ada ketimpangan pendapatan,
umumnya tidak terlalu ekstrim. Selanjutnya keterbukaan sangat penting agar masyarakat
pedesaan tidak gagap terhadap perubahan yang terjadi di dunia luar. Dalam
konteks kehidupan global seperti sekarang, kearifan lokal memang harus
senantiasa dijaga, karena tidak semua sumber nilai (values) yang datang dari luar sesuai (compatible) dan baik bagi masyarakat. Namun demikian, menjaga
tradisi bukan berarti masyarakat harus menutup diri dari kehidupan luar sebab
untuk menjaga keberlangsungan hidup di era saat ini, dibutuhkan wawasan, pengetahuan
dan skills yang memadai, sehingga mereka
tetap dapat survive dalam
kehidupannya. Oleh karena itu, masyarakat pedesaan harus terbuka terhadap
kebudayaan luar sehingga mereka tidak menjadi masyarakat yang ketinggalan zaman
(left behind).
Keterbukaan
sebagaimana diuraikan di atas tentunya tidak dapat dilakukan tanpa intervensi
dari luar. Intervensi terutama oleh pemerintah dalam rangka mendorong
masyarakat pedesaan untuk lebih terbuka mutlak diperlukan. Bentuk intervensi
tersebut tentunya dapat dilakukan dengan memberikan ruang kepada masyarakat
untuk memiliki akses informasi yang memadai. Misalnya, pemerintah daerah harus
mulai menganggarkan alokasi dana untuk akses informasi baik berupa fasilitas surat
kabar maupun penyediaan jaringan internet untuk desa-desa. Akses yang memadai
terhadap informasi selama ini menjadi problem yang belum mendapat porsi
perhatian yang cukup oleh pemerintah. Hal ini ditunjukan oleh fakta bahwa akses
masyarakat baik di kota maupun desa terhadap informasi sangat rendah. Data yang
dirilis BPS terhadap indikator sosial dan budaya pada tahun 2003, 2006, 2009,
dan 2012 justru mengalami penurunan, di mana persentase penduduk yang berumur
10 tahun ke atas yang membaca surat kabar/majalah pada tahun 2003 (23.70%),
2006 (23.46%), 2009 (18.94%), dan 2012 (17.66%). Rendahnya akses masyarakat
terhadap informasi ini sangat memprihatinkan terutama di era modern seperti
sekarang di mana informasi sudah menjadi kebutuhan tidak hanya untuk masyarakat
perkotaan. Problem ini harus segera direspon oleh pemerintah sehingga
masyarakat mendapat layanan informasi yang memadai.
Dari perspektif
politik, harus ada political will
dari pemerintah dengan membuat desain kebijakan yang kongkrit dan adil untuk
daerah pedesaan. Selama ini desain kebijakan pemerintah justru membuat jurang kesenjangan
antara desa dan kota semakin menganga. Konsentrasi program-program yang hanya
mengejar pertumbuhan ekonomi melalui investasi besar-besaran di sektor industri
pada saat yang sama justru telah merugikan masyarakat pedesaan yang umumnya
adalah petani. Ketika program pembangunan difokuskan hanya kepada industri,
sudah barang tentu pertumbuhan dan kemajuan hanya di dapat di wilayah
perkotaan, sebaliknya desa semakin terpuruk karena sektor pertanian diabaikan.
Berangkat dari realitas ini, pemerintah harus membuat kebijakan yang pro-rural areas. Desain kebijakan pemerintah harus
menitikberatkan kepada hal-hal berikut: pertama, kebijakan pemerintah harus
menekankan kepada peningkatan/perbaikan infrastruktur desa terutama pada
desa-desa yang kondisi geografisnya tidak menguntungkan. Kedua, akses terhadap
pendidikan, informasi dan kesehatan gratis harus menjadi prioritas bagi
pemerintah sehingga akselerasi pembangunan dapat terwujud dengan efektif.
Ketiga, pemerintah perlu memberikan bantuan modal bagi masyarakat desa sehingga
mereka dapat memiliki mata pencaharian alternatif, tidak hanya mengandalkan
sektor pertanian. Bantuan modal tentunya sangat membantu masyarakat karena
mereka dapat memanfaatkannya untuk mendirikan usaha. Mata pencaharian
alternatif ini pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat,
terutama pada masyarakat desa yang tanahnya gersang dan tidak menjanjikan.
Terakhir, berkaitan dengan political will
pemerintah, segregasi atau ekslusi terhadap masyarakat pedesaan baik dari aspek
etnik, suku, agama, gender dan sejenisnya harus dihapuskan.
Beberapa solusi
di atas tentu dapat menjadi input
bagi pemerintah dalam membuat kebijakan terutama berkaitan dengan peningkatan
tarap hidup desa agar menjadi lebih baik. Dengan demikian, desa yang selama ini
identik dengan keterbelakangan lambat laun dapat mengalami akselerasi secara
cepat menjadi desa yang lebih maju.
Artikel ini pernah terbit di Flamma, Institute for Research and Empowerment (IRE), Yogyakarta Edisi 40, Oktober-Desember 2013
Referensi
BPS 2012, Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, Garis Kemiskinan, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1), dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Menurut Provinsi, September http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&id_subyek=23¬ab=1.
Kate Bird, David Hulme, dkk, t.t., Chronic poverty and Remote rural areas, CPRC Working Paper No 13, Chronic Poverty Research Centre International Development Department, School of Public Policy, University Of Birmingham, Birmingham UK.
Soelaeman, Munandar 2008. Ilmu Sosial Dasar: Teori dan Konsep Ilmu Sosial, Refika Aditama, Bandung.
Comments
Keren ini, meskipun pernah terbit 2013 tetapi masih sangat relevan dengan konteks saat ini, yaitu dg bagaiman pemerintah mendorong masyarakat desa agar lebih terbuka terhadap gelombang perubahan yg terjadi...
ReplyDeleteBetul, masyarakat desa harus didorong untuk terbuka dan menjadi agile learner. Tanpa itu mereka tetap akan selalu berada di posisi peri-peri. Sudah saatnya masyarakat desa harus berdaya dengan pelbagai potensi yang dimilikinya.
ReplyDelete